BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi
di Pulau Sumatera yang terletak pada 1° - 4° Lintang Utara dan 98° - 100° Bujur
Timur, dengan luas daratan 71.680 km². Medan
adalah ibu kota provinsi Sumatera Utara juga
merupakan pusat kantor pemerintahan dan pusat bisnis hingga menjadikan Medan sebagai kota terbesar
ke-3 di Indonesia.
Pada bagian pesisir timur, wilayah di dalam provinsi yang paling pesat
perkembangannya karena persyaratan infrastruktur yang relatif lebih lengkap
daripada wilayah lainnya. Wilayah pesisir timur juga merupakan wilayah yang
relatif padat konsentrasi penduduknya dibandingkan wilayah lainnya. Pada masa
kolonial Hindia-Belanda, wilayah ini termasukresidentie Sumatra's
Oostkust bersama provinsi Riau.Di wilayah tengah provinsi berjajar Pegunungan
Bukit Barisan. Di pegunungan ini terdapat beberapa wilayah yang menjadi
kantong-kantong konsentrasi penduduk. Daerah di sekitar Danau Toba dan Pulau
Samosir, merupakan daerah padat penduduk yang menggantungkan hidupnya kepada
danau ini.
Terdapat 419 pulau di propisi
Sumatera Utara. Pulau-pulau terluar adalah pulau Simuk (kepulauan Nias) yang
terdiri dari pulau Nias sebagai pulau utama dan pulau-pulau kecil lain di
sekitarnya. Kepulauan Nias terletak di lepas pantai pesisir barat di Samudera
Hindia. Pusat pemerintahan terletak di Gunung Sitoli, dan pulau Berhala di
selat Sumatera (Malaka). Kepulauan Batu ini terdiri dari 51 pulau dengan 4
pulau besar: Sibuasi, Pini, Tanahbala, Tanahmasa. Pusat pemerintahan di
Pulautelo di pulau Sibuasi. Kepulauan Batu terletak di tenggara kepulauan Nias.
Provinsi ini dihuni oleh banyak suku bangsa yang
tergolong dari Melayu Tua dan Melayu Muda. Penduduk asli provinsi ini terdiri
dari Suku Melayu, Suku Batak, Suku Nias, dan Suku Aceh. Daerah pesisir Sumatera
Utara, yaitu timur dan barat pada umumnya didiami oleh Suku Melayu dan Suku
Mandailing yang hampir seluruhnya beragama ISLAM. Sementara di daerah
pegunungan banyak terdapat Suku Batak yang sebagian besarnya beragama KRISTEN.
Selain itu juga ada Suku Nias di kepulauan sebelah barat. Kaum pendatang yang
turut menjadi penduduk provinsi ini didominasi oleh Suku Jawa. Suku lainnya
adalah Suku Tionghoa dan beberapa minoritas lain.[1]
Batak Toba adalah sub atau bagian dari suku bangsa
Batak yang wilayahnya meliputi Balige, Porsea, Parsoburan, Laguboti, Ajibata,
Uluan, Borbor, Lumban Julu, dan sekitarnya. Silindung, Samosir, dan Humbang
bukanlah Toba. Karena 4 (empat) sub atau bagian suku bangsa Batak
(Silindung_Samosir_Humbang_Toba) memiliki wilayah dan contoh marga yang
berbeda. Pada Desember 2008, Keresidenan Tapanuli disatukan dalam Provinsi
Sumatera Utara. Toba saat ini masuk dalam wilayah Kabupaten Toba Samosir yang
beribukota di Balige. Kabupaten Toba Samosir dibentuk berdasarkan Undang-Undang
No 12. Tahun 1998 tentang pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir
dan Kabupaten Mandailing Natal, di Daerah Tingkat I Provinsi Sumatera Utara.
Kabupaten Toba Samosir ini merupakan pemekaran dari Daerah Tingkat II Kabupaten
Tapanuli Utara.[2] Lebih
lanjut budaya suku Batak Toba berdasarkan rumusan C. Kluckhohn, yaitu:
1.
Bahasa
Dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari, orang Batak menggunakan beberapa
logat, ialah:
(1)
Logat Karo yang dipakai oleh orang Karo;
(2)
Logat Pakpak yang dipakai oleh Pakpak;
(3)
Logat Simalungun yang dipakai oleh
Simalungun;
(4)
Logat Toba yang dipakai oleh orang Toba,
Angkola dan Mandailing.
2.
Sistem Pengetahuan
Orang Batak juga mengenal sistem gotong-royong kuno dalam hal bercocok
tanam. Dalam bahasa Karo aktivitas itu disebut Raron, sedangkan dalam bahasa Toba hal itu disebut Marsiurupan. Sekelompok orang tetangga
atau kerabat dekat bersama-sama mengerjakan tanah dan masing-masing anggota
secara bergiliran. Raron itu merupakan satu pranata yang keanggotaannya sangat
sukarela dan lamanya berdiri tergantung kepada persetujuan pesertanya.[3]
3.
Teknologi
Masyarakat Batak telah mengenal dan mempergunakan alat-alat sederhana yang
dipergunakan untuk bercocok tanam dalam kehidupannya. Seperti cangkul, bajak (tenggala dalam bahasa Karo), tongkat
tunggal (engkol dalam bahasa Karo),
sabit (sabi-sabi) atau ani-ani.
Masyarakat Batak juga memiliki senjata tradisional yaitu, piso surit (sejenis belati), piso
gajah dompak (sebilah keris yang panjang), hujur (sejenis tombak), podang
(sejenis pedang panjang). Unsur teknologi lainnya yaitukain ulos yang merupakan kain tenunan yang
mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan adat Batak.
4.
Organisasi Sosial
a.
Perkawinan
Pada tradisi suku Batak seseorang hanya bisa menikah dengan orang Batak
yang berbeda klan sehingga jika ada yang menikah dia harus mencari pasangan
hidup dari marga lain selain marganya (eksogami). Apabila yang menikah adalah seseorang yang bukan
dari suku Batak maka dia harus diadopsi oleh salah satu marga Batak (berbeda
klan). Acara tersebut dilanjutkan dengan prosesi perkawinan yang dilakukan di
gereja karena mayoritas penduduk Batak beragama Kristen. Untuk mahar perkawinan-saudara mempelai wanita yang sudah menikah.
b.
Kekerabatan
Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar
orang dalam pergaulan hidup. Ada
dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan
(genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak
ada. Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah
marga mulai dari si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga.
Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan
antar marga tertentu) maupun karena perkawinan.
Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan adat adalah
ikatan sedarah dalam marga. Dimana marga artinya, misalnya Harahap, kesatuan
adatnya adalah marga Harahap dengan marga lainnya. Berhubung bahwa adat Batak
atau tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali disesuaikan dengan waktu
dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.[4]
5.
Mata Pencaharian
Pada umumnya masyarakat Batak bercocok tanam padi di sawah dan ladang.
Lahan didapat dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap kelurga mandapat
tanah tadi tetapi tidak boleh menjualnya. Selain tanah ulayat adapun tanah yang
dimiliki perseorangan.
Perternakan juga salah satu mata pencaharian suku batak antara lain
perternakan kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Penangkapan ikan
dilakukan sebagian penduduk disekitar danau Toba. Sektor kerajinan juga
berkembang. Misalnya tenun, anyaman rotan, ukiran kayu, temmbikar, yang ada
kaitanya dengan pariwisata.
6.
Sistem Religi
Pada abad 19 agama islam masuk daerah penyebaranya meliputi batak selatan.
Agama kristen masuk sekitar tahun 1863 dan penyebaranya meliputi batak utara.
Walaupun d emikian banyak sekali masyarakat batak didaerah pedesaan yang masih
mmpertahankan konsep asli religi pendduk batak. Orang batak mempunyai konsepsi
bahwa alam semesta beserta isinya diciptakan oleh Debeta Mula Jadi Na Balon dan
bertempat tinggal diatas langit dan mempunyai nama-nama sesuai dengan tugasnya
dan kedudukanya . Debeta Mula Jadi Na Balon : bertempat tinggal dilangit dan
merupakan maha pencipta; Siloan Na Balom: berkedudukan sebagai penguasa dunia
mahluk halus. Dalam hubungannya dengan roh dan jiwa orang batak mengenal tiga
konsep yaitu : Tondi: jiwa atau roh; Sahala : jiwa atau roh kekuatan yang
dimiliki seseorang; Begu : Tondinya orang yang sudah mati. Orang batak juga
percaya akan kekuatan sakti dari jimat yang disebut Tongkal.
7.
Kesenian
Seni Tari yaitu Tari Tor-tor (bersifat magis); Tari serampang dua belas
(bersifat hiburan). Alat Musik tradisional : Gong; Saga-saga. Hasil kerajinan
tenun dari suku batak adalah kain ulos. Kain ini selalu ditampilkan dalam
upacara perkawinan, mendirikan rumah, upacara kematian, penyerahan harta
warisan, menyambut tamu yang dihormati dan upacara menari Tor-tor. Kain adat
sesuai dengan sistem keyakinan yang diwariskan nenek moyang .
B.
Rumusan Masalah
Sebagaimana
latar belakang di atas, penulis hanya akan membahas bagian kecilnya
saja. Lebih tepatnya, kajian makalah ini lebih spesifik tentang Hukum Adat Suku
Batak Toba, sebagaimana tercermin pada rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah sistem ketatanegaraan (kepemimpinan)
pada suku Batak Toba?
2.
Bagaimana hukum adat tentang perkawinan
pada suku Batak Toba?
3.
Bagaimanakah bentuk pembagian harta waris
dan sistem kekerabatan suku Batak Toba?
4.
Bagaimana hukum adat terhadap delik adat
(penculikan) pada suku Batak Toba?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari
penulisan makah ini sebagai berikut;
1.
Mengetahui sistem ketatanegraan
(kepemimpinan) pada suku Batak Toba;
2.
Mengetahui tentang hukum perkawinan pada
suku Batak Toba;
3.
Mengetahui bentuk pembagian harta waris
dan sistem kekerabatan suku Batak Toba;
4.
Mengetahui tentang hukum terhadap delik
adat (penculikan) pada suku batak Toba.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kepemimpinan
Secara umum
orang Batak Toba menyebut dirinya keturunan raja (anak ni raja). Karena itu
mereka semua adalah raja. Namun yang dimaksud adalah raja dalam arti
kehormatan. Memang dikenal juga raja yang dikaitkan dengan jabatan, walaupun
setelah tidak memegang jabatan struktural itu, yang bersangkutan tetap
dipanggil raja namun sudah dalam arti yang umum. Orang Batak Toba mengenal jenis
kepemimpinan sebagai berikut:
1.
Raja Huta, yakni pemimpin tertinggi di
dalam satu huta atau kampung pemukiman. Secara tradisi biasanya pendiri kampung
dipilih rakyatnya menjadi raja huta. Kemudian ditentukan siapa yang menjadi
raja pandua atau raja kedua (wakil raja).
2.
Raja Horja, yaitu raja yang memimpin
beberapa huta (kampung) yang bergabung menjadi satu horja. Raja dipilih dari
para raja huta yang bergabung dalam federasi Horja. Demikian juga wakilnya. De
Boer menyebutkan bahwa raja horja adalah kesatuan kolektif pemimpin horja yang
bernama raja parjolo, raja partahi dan raja pandapotan.
3.
Raja Bius, yaitu raja yang memimpin
upacara di dalam satu persekutuan bius. Raja bius dipilih dari setiap kumpulan
horja. Dinamakan juga Raja Pandapotan dipilih dalam satu rapat warga. Dia
berkemampuan memimpin dan menyelenggarakan upacara keagamaan bersama raja
parbaringin. Bila dia menyelenggarakan pesta bius, maka raja-raja pandapotan
yang lain diundang untuk berpartisipasi.
4.
Raja Parbaringin yaitu terdiri dari empat
orang yang dipilih anggota masyarakat dari tiap-tiap bius marga dalam satu
rapat khusus. Raja-raja ini merupakan pemimpin-pemimpin upacara kepercayaan
keagamaan.
5.
Raja Maropat (Toba), adalah para pemimpin
yang secara struktural dibentuk oleh Raja Sisingamangaraja XII, sebagai orang
yang sangat dipercayainya dalam segala hal. Mereka berfungsi mewakili Raja
Sisingamangaraja dalam pesta bius untuk minta hujan, melawan penyakit kolera
atau cacar, maupun pesta taon atau mamele taon yang diselenggarakan sekali setahun
saat panen perdana.
Upacara-upacara
adat selalu dipimpin oleh orang yang dihunjuk secara demokratis oleh
masing-masing pihak (hasuhuton) yang
terlibat adat. Penghunjukan pemimpin upacara adat yang dinamakan juga raja parhata atau Raja Parsinabul (parsinabung), dengan menanyakan semua keturunan
nenek moyang (marompu-ompu) secara
berurutan menurut senioritas dalam silsilah keturunan. Proses pemilihan
pemimpin upacara pada adat kematian, perkawinan dan yang lain adalah sama. Tampaknya penamaan
pemimpin di kalangan orang Batak Toba cenderung beragam. Hal ini bisa terjadi
karena pemerintahan adat Batak Toba tidak sentralistis, tetapi otonomitis, atau
desentralistis. Masing-masing wilayah punya kebiasaan penamaan kepemimpinan
sendiri, sesuai dengan latar historis mereka masing-masing. Bahkan tampaknya
pada setiap jenis kegiatan ditentukan para pemimpinnya dengan nama sendiri yang
dihubungkan dengan fungsinya. Misalnya ketika akan membahas pendirian satu
perkampungan baru, maka akan hadir dalam rapat atau tonggo raja (sering juga
dinamakan marria raja) yang diadakan khusus untuk tujuan itu, raja parjolo,
raja patahi, raja huta dan raja namora. Mereka adalah pemimpin-pemimpin yang
mendiskusikan pembangunan perkampungan baru itu secara musyawarah untuk
bermufakat. Setiap hadirin berhak bicara (demokrasi) sesuai dengan jenjangnya.
Bila tidak tercapai permufakatan, maka gagasan mendirikan kampung baru itu
harus ditunda. Atau bila yang berencana kurang merasa puas, mereka akan
mengulangi permohonannya pada kesempatan lain, atau membawanya ke tingkat horja
untuk dipertimbangkan.[5]
Berdasarkan fakta di atas, maka pada masyarakat adat
Batak Toba dalam hal pemilihan pemimpin mereka sudah mengenal sistem Demokrasi.
Dengan demikian, berdasarkan pendapat Pospisil pendekatan terhadap kepemimpinan
oleh masyarakat adat Batak Toba ialah pendekatan Sosiometrik yang dimana pemimpin itu ditentukan dengan teknik
pemilihan anggota dengan perhitungan puluhan. Pendekatan ini mencampuradukan
cara pandang antara gejala
kepemimpinan yang sedang berjalan (actual) dengan pandangan para anggota
kelompok terhadap kepemimpinan itu.[6]
Dengan pendekatan yang bersifat soisometrik tersebut maka kedudukan yang diperoleh oleh pemimpin
dalam adat Batak Toba merupakan kedudukan yang bersifat achieved status yaitu kedudukan
yang hanya dapat diperoleh dengan usaha dan bukan merupakan kedudukan social
yang bersifat ascribed status yaitu
kedudukan social yang diperoleh dengan sendirinya.[7]
B. Perkawinan
Proses perkawinan dalam adat kebudayaan Batak Toba
menganut hukum eksogami (perkawinan di luar kelompok suku tertentu). Ini
terlihat dalam kenyataan bahwa dalam masyarakat Batak Toba: orang tidak
mengambil isteri dari kalangan kelompok marga sendiri (namariboto), perempuan
meninggalkan kelompoknya dan pindah ke kelompok suami, dan bersifat
patrilineal, dengan tujuan untuk melestarikan galur suami di dalam garis
lelaki. Hak tanah, milik, nama, dan jabatan hanya dapat diwarisi oleh garis
laki-laki.
Ada
2 (dua) ciri utama perkawinan ideal dalam masyarakat Batak-Toba, yakni:
1.
Berdasarkan rongkap ni tondi (jodoh) dari
kedua mempelai; dan
2.
Mengandaikan kedua mempelai memiliki
rongkap ni gabe (kebahagiaan, kesejahteraan), dan demikian mereka akan
dikaruniai banyak anak.
Sementara ketidakrukunan antara suami-isteri terjadi
apabila tondi mereka tidak bisa lagi hidup rukun (so olo marrongkap
tondina) dan itu akan tampak di kemudian hari. Ketidakrukunan ini mungkin
akan mengakibatkan terjadinya perceraian. Sebaliknya, sekali mereka sudah
melahirkan anak, ikatan antar-pasangan akan semakin kuat dan ikatan cinta
semakin kokoh. Hukum eksogami, sebagaimana telah disinggung di atas, bahkan
sudah melekat dalam diri setiap orang Batak Toba hingga sekarang. Maka, kiranya
tidak mengherankan, apabila masih ada ketakutan untuk melanggarnya.
Yang termasuk pelanggaran, antara lain na tarboan-boan rohana (yang dikuasai
oleh nafsu-keinginan), yakni orang yang menjalankan sumbang terhadap iboto
(saudara perempuan dari anggota marga sendiri). Selain larangan marsumbang, hubungan lain yang tidak
diperkenenkan adalah marpadanpadan (kumpul kebo). Marsumbang baru
dibolehkan jika perkawinan yang pernah diadakan di antara kedua kelompok tidak
diulangi lagi selama beberapa generasi. Jika terjadi pelanggaran terhadap
larangan itu, maka pendapat umum dan alat kekuasaan masyarakat akan diminta
turun tangan. Ritusnya adalah sebagai berikut: gondang mangkuling, babiat tumale (gong bertalu-talu, harimau
mengaum), artinya, rakyat akan berkumpul untuk menangkap dan menghukum si
pelaku. Peribahasa yang digunakan untuk semua tindakan yang melanggar susila
adalah: “Manuan bulu di lapang-lapang ni babi; Mamungka na so uhum, mambahen
na so jadi." (menanam bambu di tempat babi berlalu, tidak taat hukum
dan menjalankan yang tabu).[8]
Perkawinan yang dilakukan atas pelanggaran dinyatakan
batal. Lelaki yang berbuat demikian, serta pihak parboru diwajibkan melakukan
pertobatan (manopoti/pauli uhum) atau
dinyatakan di luar hukum (dipaduru di ruar ni patik), dikucilkan dari kehidupan
sosial sebagaimana yang ditentukan oleh adat. Ritusnya adalah sebagai
berikut : Pihak-pihak yang melanggar harus mempersembahkan jamuan yang
terdiri dari daging dan nasi (manjuhuti
mangindahani). Kerbau atau sapi disembelih demi memperbaiki nama para
kepala dan ketua yang tercemar karena kejadian itu. Makanan yang dihidangkan
sekaligus merupakan pentahiran (panagurasion) terhadap tanah dan
penghuninya.[9]
Berdasarkan
pendapat Posposil yang mengatakan bahwa hukum harus memenuhi empat syarat,
yakni:
- Attribute of authority. atribut otoritas atau kekuasaan menentukan bahwa aktifitas kebudayaan yang disebut hukum itu adalah keputusan melalui suatu mekanisme yang diberi wewenang dan kekuasaan dalam masyarakat. Keputusan-keuputusan itu memberi pemecahan terhadap ketagangan social yang disebabkan karena misalnya ada : (i) serangan-serangan terhadap diri individu; (ii) serangan-serangan terhadap hak orang lain; (iii) serangan-serangan terhadap pihak yang berkuasa; (iv) serangan-serangan terhadap keamanan umum.
- Attribute of intention of universal application. Atribut ini menentukan bahwa keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa itu harus dimaksudkan sebagai keputusan-keputusan yang mempunyai jangka waktu panjang dan harus dianggap berlaku juga terhadap peristiwa-peristiwa dalam masa yang akan dating.
- Attribute of obliogation. Atribut ini menentukan bahwa keputusan-keputusan pemegang kuasa harus mengandung perumusan dari kewajiban pihak ke satu terhadap pihak kedua, tetapi juga hak dari pihak kedua harus dipenuhi oleh pihak kesatu. Didalam hal ini pihak kesatu dan kedua harus terdiri dari individu-individu yang hidup. Kalau keputusan tidak mengandung perumusan dari kewajiban maupun dari hak tadi, maka keputusan tak akan ada akibatnya dan karena itu tidak akan merupakan keputusan hukum; dan kalau pihak itu misalnya nenek moyang yang sudah meninggal, maka keputusan yang menentukan kewajiban pihak ke satu ke pihak kedua itu bukanlah hukum, melainkan suatu keputusan yang merumuskan suatu kewajiban keagamaan.
- Attribute of sanction menentukan bahwa keputusan-keputasan dari pihak berkuasa itu harus dikuatkan dengan sanksi dalam arti seluas-luasnya. Sanksi itu bisa berupa sanksi jasmaniah berupa hukuman tubuh dan deprivasi dari milik (yang misalnya amat dipentingkan dalam sistem-sistem hukum bangsa-bangsa Eropa), tetapi juga sanksi rohani seperti misalnya menimbulkan rasa takut, rasa malu, rasa dibenci dan sebagainya maka ritus-ritus yang di lakukan masyarakat Batak Toba terhadap pelanggaran na tarboan-boan rohana, marsumbang dan marpadanpadan merupakan hukum adat karena dalam pelaksanaanya terdapat keterlibatan pemimpin (authority), berlaku umum (universal), bersifat obligation yang dimana masyarakat berhak untuk menangkap dan menuntut pelaku dan perlaku wajib untuk melakukan pertobatan (manopoti/pauli uhum), serta adanya sanksi berupa manjuhuti mangindahani.[10]
C. Sistem
Kekerabatan dan Pembagian Harta Waris
Masyarakat Batak yang menganut sistim kekeluargaan
yang patrilineal yaitu garis
keturunan ditarik dari ayah. Hal ini terlihat dari marga yang dipakai oleh
orang Batak yang turun dari marga ayahnya. Melihat dari hal ini jugalah secara
otomatis bahwa kedudukan kaum ayah atau laki-laki dalam masyarakat adat dapat
dikatakan lebih tinggi dari kaum wanita. Namun bukan berarti kedudukan wanita
lebih rendah.
Dalam pembagian warisan orang tua. Yang mendapatkan
warisan adalah anak laki – laki sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian
dari orang tua suaminya atau dengan kata lain pihak perempuan mendapatkan
warisan dengan cara hibah. Pembagian harta warisan untuk anak laki – laki juga tidak
sembarangan, karena pembagian warisan tersebut ada kekhususan yaitu anak laki –
laki yang paling kecil atau dalam bahasa batak nya disebut Siapudan. Dan
dia mendapatkan warisan yang khusus. Dalam sistem kekerabatan Batak Parmalim,
pembagian harta warisan tertuju pada pihak perempuan. Ini terjadi karena
berkaitan dengan system kekerabatan keluarga juga berdasarkan ikatan emosional
kekeluargaan. Dan bukan berdasarkan perhitungan matematis dan proporsional,
tetapi biasanya dikarenakan orang tua bersifat adil kepada anak – anak nya
dalam pembagian harta warisan.
Dalam masyarakat Batak non-parmalim (yang sudah
bercampur dengan budaya dari luar), hal itu juga dimungkinkan terjadi. Meskipun
besaran harta warisan yang diberikan kepada anak perempuan sangat bergantung
pada situasi, daerah, pelaku, doktrin agama dianut dalam keluarga serta
kepentingan keluarga. Apalagi ada sebagian orang yang lebih memilih untuk
menggunakan hukum perdata dalam hal pembagian warisannya.
Hak anak tiri ataupun anak angkat dapat disamakan
dengan hak anak kandung. Karena sebelum seorang anak diadopsi atau diangkat,
harus melewati proses adat tertentu. Yang bertujuan bahwa orang tersebut sudah
sah secara adat menjadi marga dari orang yang mengangkatnya. Tetapi memang ada
beberapa jenis harta yang tidak dapat diwariskan kepada anak tiri dan anak
angkat yaitu Pusaka turun – temurun keluarga. Karena yang berhak memperoleh
pusaka turun-temurun keluarga adalah keturunan asli dari orang yang mewariskan.
Dalam Ruhut-ruhut
ni adat Batak (Peraturan Adat batak) jelas di sana diberikan pembagian
warisan bagi perempuan yaitu, dalam hal pembagian harta warisan bahwa anak
perempuan hanya memperoleh: Tanah (Hauma
pauseang), Nasi Siang (Indahan Arian),
warisan dari Kakek (Dondon Tua),
tanah sekadar (Hauma Punsu Tali).
Dalam adat Batak yang masih terkesan Kuno, peraturan adat – istiadatnya lebih
terkesan ketat dan lebih tegas, itu ditunjukkan dalam pewarisan, anak perempuan
tidak mendapatkan apapun. Dan yang paling banyak dalam mendapat warisan adalah
anak Bungsu atau disebut Siapudan. Yaitu berupa Tanak Pusaka, Rumah
Induk atau Rumah peninggalan orang tua dan harta yang lain nya dibagi rata oleh
semua anak laki – laki nya. Anak siapudan juga tidak boleh untuk pergi
meninggalkan kampung halaman nya, karena anak Siapudan tersebut sudah dianggap
sebagai penerus ayahnya.
Jika kasusnya orang yang tidak memiliki anak laki-laki
maka hartanya jatuh ke tangan saudara ayahnya. Sementara anak perempuannya
tidak mendapatkan apapun dari harta orang tuanya. Dalam hukum adatnya mengatur
bahwa saudara ayah yang memperoleh warisan tersebut harus menafkahi segala
kebutuhan anak perempuan dari si pewaris sampai mereka berkeluarga.[11]
D. Delik
Adat (Penculikan)
Mengenai hukum pelanggaran digunkan istilah panguhumon ta angka parsala, yang
berarti hukum dalam hal mereka yang berbuat salah, pengadilan terhadap mereka
serta hukuman yang dijatuhkan. Sala
berarti kesalahan, perbuatan tercela, pelanggaran; parsala (orang yang melakukan suatu kesalahan, orang yang melakukan
pelanggaran). Istilah parsala agak
luas penerapanya daripada pengaloasi
(orang yang menyalahi), karena mangaloasi
(menyalahi) yang menyangkut peraturan dan tata tertib yang secara khusus
diumumkan sebagai peraturan yang harus dipatuhi, sedangkan parsala dapat juga berarti sesuatu yang tidak boleh dilakukan,
dalam arti yang lebih umum.[12]
Ada
banyak tindakan yang termasuk sebagai pelanggaran dalam masyarakat adat Batak
Toba, namun akan dibahas tentang tindakan penculikan bagi masyarakat Batak
Toba. Tindakan penculikan bagi masyarakat Batak Toba tidak hanya merugikan
pihak terkait (keluarga korban) juga terhadap kepala dan ketentraman serta
kedamian di dalam masyarakat. Jika terjadi kasus penculikan, tiba-tiba akan
terdengar hentak dan tepuk pada lantai batu seperti yang lazim pada suatu
tarian, dan orang pun akan mengalir berduyun-duyun untuk memberi bantuan kepada
yang empunya hajat. “Kendang bertalu-talu, harimau mengaum” terdengar pada
waktu seluruh wilayah dalam keadaan cemas begitu rupa sehingga semua orang
berhimpun untuk memuntahkan perasaan hati. Oleh karena itu, selain pihak yang
tersinggung harus menerima pemuasan, kepala juga harus ikut serta ketika
hukuman harus dijalani dengan cara menghidangkan nasi dan daging dan ketika
denda dan sebagainya harus dibayar.[13]
Berdasarkan fakta di atas bisa diketahui bahwa panguhumon ta angka parsala merupakan
hukum karena telah memenuhi 4 tanda hukum, yakni : authority, obligation, universal, dan sanction dan memiliki budaya hukum yang bersifat partisipan.[14]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kepemimpinan
Berdasarkan pembahasan di
atas dapat diketahui bahwa penetapan pemimpin pada masyarakat Batak Toba
didasarkan atas sistem demokrasi, hal ini terlihat misalnya Raja Horja merupakan raja dari beberapa
kampung (huta) yang dipilih dari para Raja
Huta. Dalam mengambil keputusan bersama, masyarakat Batak Toba selalu
mengedepankan musyawarah-mufakat, misalnya dalam menentukan pembentukan kampung (huta)
baru. Senada dengan pendapat Pospisil
bahwa sistem demokrasi yang dianut oleh masyarakat Batak Toba menentukan
pemimpin adalah pendekatan kepemimpinan yang bersifat sosiometrik.
2. Perkawinan
Masyarakat Batak Toba
merupakan penganut sistem perkawinan eksogami
sehingga endogamy atau dalam
bahasa Batak Toba disebut marsumbang
dianggap sebagi pelanggaran terhadap hukum adat dan akan membuat roh para
leluhur marah. Selain marsumbang, na
tarboan-boan rohana, dan marpadanpadan
juga merupakan sebuah pelanggaran terhadap hukum adat
dan dipercaya akan membuat roh-roh leluhur marah. Para
pelaku akan mendapat sanksi berupa manjuhuti mangindahani yakni mempersembahkan jamuan nasi dan daging (babi, sapi atau kerbau) guna memperbaiki nama kepala
atau raja yang tercemar karena kejadian itu, sekaligus mentahirkan tanah dan
penghuninya.
3. Sistem Kekerabatan
dan Pembagian Harta Waris
Masyarakat Batak Toba
menganut sistem kekerabatan yang bersifat patrilineal.
Dalam hal pembagian harta waris pihak perempuan tidak mendapat harta warisan
apa-apa dari orang tuanya, harta warisan akan jatuh pada anak laki-laki baik
anak kandung maupun anak tiri namun ada beberapa warisan yang tidak bisa
diserahkan kepada anak tiri misalnya pusaka turun-temurun. Dan anak laki-laki bungsu (siapudan) memiliki hak-hak khusus dalam
pembagian harta waris. Sedangkan pihak
perempuan yang tidak mendapat harta warisan apa-apa dari orang tuanya akan
mendapat harta warisan dari mertuanya
atau orang tua suaminya. Jika tidak terdapat anak laki-laki sebagai
pewaris maka harta warisan akan jatuh di tangan saudara ayahnya. Saudara
ayahnya yang menerima harta warisan tersebut berkewajiban menafkahi anak
perempuan pewaris sampai dia berkeluarga.
4. Delik Adat
(Penculikan)
Masyarakat Batak Toba memiliki budaya hukum partisipan yakni suatu sikap dimana
masyarakat ikut menilai setiap
peristiwa hukum dan peradilan, merasa terlibat dalam kehidupan hukum baik yang
menyangkut kepentingan umum maupun kepentingan keluarga dan dirinya sendiri.
Sanksi atau pertobatan (manopoti/pauli uhum) yang dibebankan
kepada penculik adalah berupa manjuhuti mangindahani yakni
mempersembahkan jamuan nasi dan daging (babi, sapi atau kerbau) guna
memperbaiki nama kepala atau raja yang tercemar karena kejadian itu, sekaligus
mentahirkan tanah dan penghuninya.
B. Kritik
dan Saran
1. Kepemimpinan
Sistem demokrasi dan sikap musyawarah-mufakat dalam
mengambil keputusan bersama yang telah dikenal oleh masyarakat Batak Toba
hendaknya terus dipertahankan. Mengingat perkembangan zaman yang semakin
kompleks saat ini maka sikap bermusyawarah untuk mufakat itu sangat sesuai demi
menjaga kesatuan dan persatuan di kalangan masyarakat.
2. Perkawinan
Sistem perkawinan eksogami yang
dianut oleh masyarakat Batak Toba hendaknya dipertahankan karena dengan adanya
keharusan untuk mengawini orang diluar marganya maka hal tersebut terhindar
sikap maupun proses berpikir yang monoton.
3. Sistem Kekerabatan
dan Pembagian Harta Waris
Sikap patrilineal perlu ditinjau kembali dengan mempertimbangkan berbagai
aspek terutama aspek keadilan, dan tidak
menutup kemungkinan akan adanya rasa iri dan keinginan untuk memberontak dari
para salah satu pihak yang bersangkutan terutama ahli waris dari pihak
perempuan.
4. Delik Adat
(Penculikan)
Sanksi berupa manjuhuti
mangindahani sangat efektif sehingga sangat layak untuk
dipertahankan, bila perlu pemerintah harus mencoba untuk memikirkan sanksi-sanksi pidana selain penjara, kurungan dan denda
sebagaimana yang kita kenal saat ini. Dan merubah bentuk-bantuk sanksi yang
sederhana namun memberi efek jera berat bagi pelaku sebagaimana sanksi manjuhuti mangindahani di masyarakat
Batak Toba.
DAFTAR PUSTAKA
Hilman Hadikusuma, Pengantar Antropologi Hukum, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung,
2004
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka
Cipta, Jakarta,
2008
J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, LkiS
Yogyakarta, Yogyakarta, 2004
BPS Sumut, Sumatera Utara, http://www.bps.sumut.go.id.com
Wikipedia, Suku Batak Toba, http://www.wikipedia.com
Jona L Toruan, Suku Bangsa Batak dan Konsep Kebudayaan
Batak, http://www.habatakon01.blogspot.com
Bungaran Antonius Simanjuntak, Demokrasi Batak Toba, Kepemimpinan, dan
Perilaku Hubungan Sosial, http://www.simanjutak.or.id
Rudian Siaban, Pembagian Warisan Dalam Adat Batak Toba, http://www.rudin76-ban.blogspot.com
[1]
BPS Sumut, Sumatera Utara, http://www.bps.sumut.go.id.com,
diakses pada tanggal 11 Mei 2015@01.55PM
[3]
Jona L Toruan, Suku Bangsa Batak dan
Konsep Kebudayaan Batak, http://www.habatakon01.blogspot.com,
diakses pada tanggal 10 Mei 2015@12.10PM
[4]
Wikipedia, Op. Cit
[5] Bungaran Antonius Simanjuntak, Demokrasi Batak Toba, Kepemimpinan, dan
Perilaku Hubungan Sosial, http://www.simanjutak.or.id, diakses pada tanggal 12
Mei 2015@01.10PM
[6]
Hilman Hadikusuma, Pengantar Antropologi
Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2004, hlm. 98
[7]
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu
Antropologi, Rineka Cipta, Jakarta,
2008, hlm. 170
[8]
J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat
Batak Toba, LkiS Yogyakarta, Yogyakarta,
2004, hlm. 209
[9]
Wikipedia, Op. Cit
[11]
Rudian Siaban, Pembagian Warisan Dalam
Adat Batak Toba, http://www.rudin76-ban.blogspot.com, diakses pada
tanggal 12 Mei 2015@08.10PM
[12]
J.C. Vergouwen, Op. Cit., hlm. 484
[13] Ibid
[14]
Hilman, Op. Cit., hlm. 93
Demikianlah Artikel ini, kami berharap bisa memberikan manfaat serta isnpirasi dan Sekianlah artikel kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel bermanfaat dalam situs kami, terima kasih atas kunjungan anda.