KAIDAH TAFSIR AL-QUR’AN;
Tanya Jawab (As sual Wal
Jawab)
A. PENDAHULUAN
Ada satu
pandangan teologis dalam Islam bahwa al-Qur'an shalihun li kulli zaman wa
makan. Sebagian umat Islam memandang keyakinan tersebut sebagai doktrin
kebenaran yang bersifat pasti. Akibatnya muncul respon reaktif terhadap setiap
perkembangan situasi yang terjadi dalam perjalanan sejarah peradaban manusia.
Misalnya dengan pernyataan bahwa semua ilmu pengetahuan yang ada sekarang ini
dan pada masa yang akan datang sudah ada semuanya dalam Al-Qur'an. Seperti yang
disampaikan oleh al-Ghazali dalam Jawahir Al-Qur'an.
Respon ini
tentunya tidak produktif. Sebab jika ada penemuan baru berdasarkan metodologi
ilmu pengetahuan kontemporer yang kontradiktif dengan al-Qur'an muncul respon
defensif yang seringkali menempatkan informasi-informasi dalam teks al-Qur’an
pada dataran mistik. Ada semacam pemaksaan teologis dalam rangka menyelamatkan
keshahihan al-Qur'an tersebut. Padahal upaya ini justru akan memposisikan
al-Qur’an secara sempit. Pemahaman al-Qur’an hanya terbatas pada ruang dan
waktu ketika al-Qur’an itu turun, atau paling tidak sampai pada waktu ulama-ulama
klasik saja.
Karenanya
diperlukan upaya yang lebih produktif dalam rangka mempertahankan pandangan
teologis di atas. Salah satunya adalah pengembangkan tafsir kontemporer dengan
menggunakan metodologi baru yang sesuai dengan perkembangan situasi sosial, budaya,
ilmu pengetahuan dan perkembangan peradaban manusia. Persoalannya adalah
bagaimana merumuskan sebuah metode tafsir yang mampu menjadi alat untuk
menafsirkan al-Qur’an secara baik, dialektis, reformatif, komunikatif serta
mampu menjawab perubahan dan perkembangan problem kontemporer yang dihadapi
umat manusia.
Untuk
mencapai tujuan tersebut perlu adanya penelusuran sejarah tentang berbagai
upaya ulama dalam mengembangkan kaidah-kaidah penafsiran. Tujuannya adalah
untuk mengetahui prosedur kerja para ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur'an
sehingga penafsiran tersebut dapat digunakan secara fungsional oleh masyarakat
Islam dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Kaidah-kaidah ini kemudian
dapat digunakan sebagai referensi bagi pemikir Islam kontemporer untuk
mengembangkan kaidah penafsiran yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Namun
kaidah-kaidah penafsiran di sini tidak berperan sebagai alat justifikasi
benar-salah terhadap suatu penafsiran al-Qur'an. Kaidah-kaidah ini lebih
berfungsi sebagai pengawal metodologis agar tafsir yang dihasilkan bersifat
obyektif dan ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan. Sebab produk tafsir pada
dasarnya adalah produk pemikiran manusia yang dibatasi oleh ruang dan waktu.
B. RUMUSAN MASALAH
Sebagaimana
latar belakang di atas, maka ada beberapa persoalan yang diajukan dalam makalah
ini, yaitu:
1)
Apa yang dimaksud dengan kaidah-kaidah
penafsiran?
2)
Apa pengertian Kaidah As Sual Wal Jawab?
3)
Seperti apa Kaidah As su’al Wal Jawab dan apa makna
yang terkandung di dalamnya?
4)
Bagaimana Pola As Sual Wal Jawab dalam al-Qur'an?
C. PEMBAHASAN
1) Pengertian Kaidah-Kaidah Tafsir Al-Qur'an
Kaidah-kaidah
tafsir, dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qawa’id al tafsir. Qawaid
merupakan bentuk jamak dari qaidah yang berarti undang-undang, peraturan dan
asas. Secara istilah didefinisikan dengan undang-undang, sumber, dasar yang
digunakan secara umum yang mencakup semua yang partikular. Adapun kata tafsir
secara bahasa berasal dari kata fassara, yufassiru, tafsiran yang berarti
mengungkapkan. Secara istilah tafsir dapat diartikan sebagai alat atau ilmu
pengetahuan dalam memahami petunjuk-petunjuk al-Qur'an.
Berdasarkan
penjelasan tersebut, kaidah-kaidah tafsir dapat diartikan sebagai pedoman dasar
yang digunakan secara umum guna mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk
al-Qur’an. Pengembangan kaidah-kaidah tafsir telah dilakukan oleh para ulama
sejak awal munculnya ulum al-Qur'an. Di antaranya usaha yang dilakukan oleh Abd
ar-Rahman ibn Nasir al-Sa’adi dalam kitabnya al-Qawaid al-Hisan li Tafsir
al-Qur'an. Pembahasan tentang kaidah-kaidah tafsir juga dikaji secara mendalam
dalam kitab-kitab ulum al-Qur’an yang lain , seperti oleh Manna al-Qattan dalam
Mabahits Fi Ulum al-Qur’an dan lain-lain..
Namun dari
berbagai kaidah yang disusun oleh para ulama ulum al-Qur'an tersebut tidak
terdapat kesamaan konseptual antara yang satu dengan yang lainnya. Ada yang
mengembangkan kaidah-kaidah secara umum melalui pendekatan pemahaman keagamaan
secara umum seperti hukum dan tauhid, seperti yang dilakukan oleh Abd ar-Rahman
ibn Nasir al-Sa’adi. Ada pula yang membahasnya secara teknis dan detail,
seperti yang dilakukan oleh Manna al-Qattan.
Karenanya
sikap para ulama dan pemikir Islam terhadap kaidah-kaidah ini juga beragam. Ada
yang memandang kaidah tafsir yang disusun oleh para ulama sebagai sesuatu yang
mengikat dan harus diikuti oleh para mufasir yang lain. Ada pula yang melihat
hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak mengikat dan melihatnya hanya sebagai
suatu prosedur kerja seorang mufasir saja.
Oleh karena
penafsiran merupakan suatu aktivitas yang senantiasa berkembang, sesuai dengan
perkembangan sosial, ilmu pengetahuan dan bahasa, tampaknya kaidah-kaidah
penafsiran akan lebih tepat jika dilihat sebagai suatu prosedur kerja. Dengan
pengertian ini, kaidah tersebut tidak mengikat kepada mufasir lain agar
menggunakan prosedur kerja yang sama. Setiap mufasir berhak menggunakan
prosedur yang berbeda asalkan memiliki kerangka metodologi yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Meskipun
demikian keberadaan kaidah-kaidah penafsiran yang disusun para ulama tetap
penting. Kaidah-kaidah tersebut bisa dijadikan sebagai kerangka metodologi
dalam melakukan penafsiran dengan menggunakan metode yang sama. Kaidah tersebut
juga bisa digunakan sebagai referensi dan pembanding dalam melakukan proses
penafsiran.[1]
2) Pengertian As Sual Wal
Jawab
Sebelum
pengertian dari As Sual Wal Jawab diuraikan perlu diketahui bahwa setiap
pertanyaan pasti membutuhkan jawaban, dan setiap jawaban harus sesuai dengan
jawaban pertanyaan tersebut. Hal ini didasarkan atas kaidah yang sudah umum
dalam berkomunikasi. Akan tetapi kaidah umum tersebuttidak berlaku lagi bila
dikaitkan dengan al-Qur'an. Dalam al-Qur’an jawaban tidak harus sesuai dengan
apa yang menjadi fokus pertanya’an karena di dalamnya terdapat suatu hal yang
lebih penting dari apa yang menjadi fokus pertanyaan tersebut.
Mengenai
pengertian dari al-Su’al itu sendiri Nor Ihwan dalam bukunya yang dikutip dari
Khalid Abd al-Rahman al-Akk, menegaskan bahwa yang disebut dengan As Sual
(pertanyaan) ialah sebagai suatu perkataan yang dijadikan permulaan. Sedangkan
al-Jawab (jawaban) ialah perkataan yang dikembalikan kepada si penanya.[2] Jadi dilihat dari definisi
tersebut disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-Su’al itu tidak harus berupa
pertanyaan, boleh jadi As Sual tersebut tidak berupa pertanyaan akan
tetapi berbentuk permintaan sebagaimana yang ditunjukkan dalam QS. Yunusl10:15
tA$s% aúïÏ%©!$# xw tbqã_öt $tRuä!$s)Ï9 ÏMø$# Ab#uäöà)Î/ Î}öxî !#x9»yd ÷rr& ã&ø!Ïd0t/ 4 ö@è% $tB Ücqä3t þ Í< ÷br& ¼ã&s!Ïd0t/é& `ÏB Ç:!$s)ù=Ï? ûÓŤøÿtR
Yang
dimaksudkan oleh penulis dari pengertian As Sual yang mempunyai arti
permintaan (bukan pertanyaan) di atas terdapat pada kalimat a’ti biqur’anin
ghoiri hazda. Akan tetapi kebanyakan dari kaidah As Sual
ini banyak menggunakan sighat-sighat pertanyaan yang uraiannya akan dijelaskan
di pembahasan yang selanjutnya.
3)
Kaidah As su’al Wal Jawab Serta Makna Yang Terkandung di Dalamnya
Sebagaimana
uraian di atas bahwa al-Quran berbeda dengan kaidah umum. Al-Quran dalam
memberikan jawaban kadang terlihat tidak sesuai dengan apa yang seharusnya
menjadi fokus dari pertanyaan tersebut. Demikian itu dikarenkan ada sesuatu
yang dianggap lebih penting dari apa yang dimaksudkan dari pertanyaan tersebut.
Perhatikan QS.al-Baqarahl2:189
tRqè=t«ó¡o Ç`tã Ï'©#ÏdF{$# ( ö@è% } Ïd àM9Ï%ºuqtB Ĩ$¨Y=Ï9 Ædkysø9$#ur
Sighat
As Sual yang digunakan
dalam ayat di atas menggunakan lafat yas’alunaka. Adapun yang melatar
belakangi turunnya ayat ini ialah ketika itu ada sekelompok orang yang
menanyakan perihal bulan sabit kepada rasulullah. Mengapa pada mulanya ia
tampak kecil seperti benang kemudian bertambah sedikit demi sedikit hingga
menjadi purnama kemudian menyusut terus-menerus sampai kembali seperti semula.[3] Seharusnya pertanyaan itu
cukup dijawab dengan proses perubahan bulan tersebut karena yang ditanyakan
tentang keadaan dari bulan tersebut. Akan tetapi al-Quran memberikan yang lain,
yaitu dengan menjelaskan hikmah dari proses perubahan yang terjadi pada bulan
tersebut dengan mengatakan bahwa itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan
untuk musim haji.[4] al-Qur'an menggunakan
jawaban demikian boleh jadi karena ada asumsi lain yang dipertanyakan, dalam
arti tidak terpaku hanya perihal perubahan bulan sabit semata tapi juga
menginginkan manfaat yang terkandung di dalamnya.[5]
Jawaban
dari teks yang digunakan al-Qur'an di atas
dapat dikatakan tidak sesuai dengan pertanyaan, akan tetapi kalau
diamati dengan seksama serta melihat analisis yaitu tentang asumsi-asumsi di
atas maka jawaban tersebut masih ada kesesuaian. Dengan demikian jawaban yang
diberikan tersebut tidak menyalahi kaidah umum yang berlaku.
Adapun
jawaban dari sebuah su’al kadang-kadang bersifat lebih umum dari apa
yang dipertanyakan, dan ada kalanya juga lebih sempit dari pertanyaan karena
demikianlah yang dikehendaki.
Adapun
pembagian yang pertama sebagaimana yang terkandung pada QS. Al-An’aml6:64
È@è% ª!$# Nä39ÉdfuZã $pk÷]ÏiB `ÏBur Èe@ä. 5>öx. §NèO öNçFRr& tbqä.Î}ô³è?
“katakanlah”Allah menyelmatkan kamu dari
pada bencana itu dan dari segala macam kesusahan kemudian kamu kembali
mempersekutukan-Nya.
Maksud dari
ayat di atas ialah bahwa Allahlah yang mampu menyelamatkan dari bencana
tersebut. Baik di arat maupun di laut. Bahkan allah jugalah yang menyelamatkan
dari segala macam kesusahan. Jawaban ini dianggap sebagai jawaban yang umum dan
lebih komprehensip dari pertanyaan yang terdapat dalam ayat sebelumnya yang
berbunyi:
ö@è% `tB /ä3`ÉdfuZã `ÏiB ÏM»uHä>àß Îh}y9ø9$# Ìóst7ø9$#ur ¼çmtRqããô0s? %Yæ"}|Øn@ Zpu`øÿäzur ÷ûÈõ©9 $uZ8pgUr& ô`ÏB ¾ÍnÉ9»yd ¨ûsðqä3uZs9 z`ÏB tûïÌÅ3»¤±9$#
“katakanlah” siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari
bencana di darat dan di laut yang kamu berdoa kepadanya dengan berendah diri
dan dengan suara yang lembut. (QS. Al-An’aml6:63).
Redaksi
dari ayat ini ialah mempertanyakan tentang siapa orang yang mampu menyelamatkan
dari bencana yang ada di darat dan di laut. Dalam artian yang disoroti oleh
pertanyaan tersebut hanya dua bencana yaitu di darat dan di laut. Tetapi
al-Quran memberikan jawaban yang lebih dari pertanyaan yang terkandung dalam
ayat di atas sebagaimana yang telah teruraikan dalam penjelasan ayat setelahnya
yang terdapat dalam ayat ke 64 dari sura al-An’am karena allah ingin memberi
pengetahuan kepada manusia dengan memberi jawabanlpenjelasan lebih,
bahwa hanya Allahlah yang mampu melakukan itu. Inilah yang dimaksudkan dari
ungkapan “karena demikianlah yang dikehendaki”.
Contoh yang
sama dapat dijumpai pula dalam QS. Al-Syuaral26:71;
(#qä9$s% ß0ç7÷ètR $YB$uZô¹r& @sàoYsù $olm; tûüÏÿÅ3»tã
Mereka menjawab: "Kami menyembah
berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya".
Teks ayat
ini adalah jawaban dari pertanyaan yang disebutkan oleh ayat sebelumnya tang
berbunyi:
øRÎ) tA$s% Ïm9Î/L{ ¾ÏmÏBöqs%ur $tB tbrß0ç7÷ès?
‘Ketika ia berkata kepada bapaknya dan
kaumnya; apakah yang kamu sembah?
Sebenarnya
ayat ini mempertanyakan tentang apa yang sebenarnya disembah oleh mereka.dengan
menjawab “berhala” swbenarnya sudah cukup, akan tetapi mereka sengaja menambahi
jawabannya dengan maksud untuk menunjukkan keseriusan mereka dalam menyembah
sesembahannya itu. Boleh jadi juga dengan menambahi jawaban itu dapat dipahami
bahwa mereka menantang memancing kemarahan sipenanya.[6]
Adapun
bentuk jawaban yang bersifat lebih sempit cakupannya dari yang dipertanyakan
dan memang demikian yang dikehendaki ialah sebagaimana terdapat dalam QS.
Yunus/10;15:
ö@è% $tB Ücqä3t þ Í< ÷br& ¼ã&s!Ïd0t/é& `ÏB Ç:!$s)ù=Ï? ûÓŤøÿtR
Katakanlah, tidaklah patut bagiku
menggantinya dari pihak diriku sendiri.
Ayat ini
sebagai jawaban dari ayat yang mengandung sebuah permintaan sebelumnya yaitu:
ÏMø$# Ab#uäöà)Î/ Î}öxî !#x9»yd ÷rr& ã&ø!Ïd0t/
Su’al yang
terkandung dalam ayat diatas terdapat dua tuntutan pokok yaitu permintaan
mendatangkan al-Quran lain. Dan tuntutan kalau tidak mampu mendatangkan yang
lain maka dituntut untuk menggantinya. Menanggapi ini al-Quran tidak memberi
jawaban yang komprehensip bahkan hanya fokus dalam satu hal yaitu yang terkait
dengan tuntutan untuk menggantinya. Jawaban dari al-Quran tersebut memberi
pelajaran terhadap kita bahwa mengganti itu lebih mudah dari pada menciptakan
kembali, pasti akan lebih sulit.
4) Pola As Sual Wal Jawab
dalam al-Qur’an
Abd
al-Rahman al-Akk mengatakan bahwa pola tersebut terbagi menjadi lima pola.[7]
Pertama, jawaban bersambung (muttashil)
dengan pertanyaan seperti dalam firman Allah QS. Al-Baqarah/2:215;
atRqè=t«ó¡o #sR$tB tbqà)ÏÿZã ( ö@è% !$tB OçFø)xÿRr& ô`ÏiB 9}öyz Èûøïy0Ï9ºuqù=Î=sù tûüÎ/tø%F{$#ur 4 yJ»tGu`ø9$#ur ÈûüÅ3»|¡pRùQ$#ur Èûøó$#ur È@9Î6¡¡9$# 3 $tBur (#qè=yèøÿs? ô`ÏB 9}öyz ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒO`Î=tæ ÇËÊÎÈ
Mereka bertanya tentang apa yang mereka
nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah
diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." dan apa saja kebaikan yang
kamu buat, Maka Sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya.
Jawab
tersebut ditunjukkan dengan menggunakan lafazh qul yang sambung dengan
pertanyaannya yaitu yang bergaris bawah di atas.
Sebagaimana
keterangan yang di depan yaitu jawaban ada yang lebih komprehensip dari
pertanyaannya, ini berlaku juga pada ayat di atas bahwa dilihat dari asbab
nuzulnya bahwa sesungguhnya orang-orang muslim bertanya “apa yang mesti
kami infakkan ya rasul?[8]. Tapi oleh al-Quran
diberikan jawaban tidak hanya apa yang harus dinafkahkan akan tetapi juga
tentang orang-orang yang berhak menerimanya.
Kedua, jawabannya terpisah (munfasil) dengan al-Su’alnya terdapat dalam
satu surah maupun dalam surah yang lain, adapun contoh yang terpisah dalam satu
surah yaitu QS. Al-Furqan/25:7;
(#qä9$s%ur ÉA$tB #x9»yd ÉAqß"§9$# ã@à2ù't uQ$yè©Ü9$# ÓÅ´ôJtur Îû É-#uqó"F{$# Iwöqs9 tAÌ Ré& Ïmø9s9Î) Òn=tB acqä3u`sù ¼çmyètB #·É9tR ÇÐÈ
Dan mereka berkata: "Mengapa Rasul
itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan
kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama-
sama dengan dia?,
As Sual
yang terdapat pada ayat di atas dijawab dengan ayat yang lain tapi masih dalam
satu surah yaitu pada ayat ke 20:
!$tBur $oYù=y"ö r& an=ö6s% z`ÏB aúüÎ=y"ößJø9$# HwÎ) öNßg¯RÎ) acqè=ä.ù'u9s9 tP$yè©Ü9$# acqà±ôJtur Îû É-#uqó"F{$# 3 $oYù=yèy_ur öNà6xÒ÷èt/ <Ù÷èt7Ï9 ºpuZ÷FÏù acrç}É9óÁs?r& 3 tb%x2ur y7"/u #Z}ÅÁt/ ÇËÉÈ
Dan kami tidak mengutus rasul-rasul
sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di
pasar-pasar. dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain.
maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu Maha Melihat.
Adapun
contoh dari jawaban yang berada oada surah yang lain yaitu QS. Al-Furqan/25:20:
#sRÎ)ur x@`Ï% ãNßgs9 (#rß0ßÚó"$# Ç`»uH÷q§=Ï9 (#qä9$s% $tBur ß`»oH÷q§9$# ß0àfó¡nSr& $yJÏ9 $tRããBù's? öNèdy`#y ur #Y qàÿçR
Dan apabila dikatakan kepada mereka:
"Sujudlah kamu sekalian kepada yang Maha Penyayang", mereka
menjawab:"Siapakah yang Maha Penyayang itu? apakah kami akan sujud kepada
Tuhan yang kamu perintahkan kami(bersujud kepada-Nya)?", dan (perintah
sujud itu) menambah mereka jauh (dari iman).
Pertanyan
mengenai ‘siapa al-Rahman/yang maha penyayang
itu” dijawab dengan surah yang lain yaitu surah al-Rahman yang mana
disini dijelaskan lebih gamblang dari apa yang dipertanyakan tersebut.
Ketiga
dijawab dengan dua jawaban yang terdapat dalam masing-masing surah yang berbeda
juga. Bentuk seperti ini dicontohkan dalam QS.Zuhruf/43:31-32:
(#qä9$s%ur xwöqs9 tAÌh çR #x9»yd ãb#uäöà)ø9$# 4 n?tã 9@ã_u z`ÏiB Èû÷ütGtös)ø9$# ?LìÏàtã ÇÌÊÈ óOèdr& tbqßJÅ¡ø)t |MuH÷qu y7În/u
Dan mereka berkata: "Mengapa Al Quran
Ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan
Thaif) ini?" Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu
Pertanyaan
di atas dijawab oleh al-Quran dengan dua jawaban. yang pertama dalam surah yang
sama yaitu pada ayat 32:
ß`øtwU $oYôJ|¡s% NæhuZ÷t/ öNåktJt±`Ïè¨B Îû Ío4qu`ysø9$# $u9÷R 09$# 4 $uZ÷èsùu ur öNåk|Õ÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_u y` x9Ï Gu9Ïj9 NåkÝÕ÷èt/ $VÒ÷èt/ $wÌ÷ ß" 3 àMuH÷qu ur y7În/u ×}öyz $£JÏiB tbqãèyJøgs ÇÌËÈ
Kami Telah menentukan antara mereka
penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian
mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan.
Jawaban
kedua dari pertanyaan tersebut ialah QS. Al-Qashash/28:68:
aa/u ur ß,è=øs $tB âä!$t±o â $tFøs ur 3 $tB ac%x2 ãNßgs9 äou}zÏø:$# 4 z`»ysö6ß" «!$# 4 n?»yès?ur $£Jtã tbqà2Î}ô³ç ÇÏÑÈ
Dan Tuhanmu menciptakan apa yang dia
kehendaki dan memilihnya. sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka[1134]. Maha
Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).
Keempat
ialah pertnyaan yang jawabannya tidak disebutkan. Sebagaimana terdapat dalam
QS. Muhammad/47:14;
`yJsùr& tb%x. 4 n?tã 7poYÉit/ `ÏiB ¾ÏmÎn/§ `yJx. z`Îiã ¼çms9 âäþqß" ¾Ï&Î#uHxå (#þqãèt7¨?$#ur Lèeuä!#uq÷dr& ÇÊÍÈ
Maka apakah orang yang berpegang pada
keterangan yang datang dari Rabbnya sama dengan orang yang (shaitan) menjadikan
dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya?
Menanggapi
masalah ini khalid abd al-Rahman al-Akk mengatakan bahwa jawaban tersebut
bukannya tidak ada akan tetapi dibuang (mahzuf) karena hal ini sama
dengan halnya orang yang menginginkan gemerlapnya kehidupan dunia.[9]
Kelima, jawaban didahlukan daripada pertanyaanm
seperti yang terdapat pada QS. Shad/38:1;
üÉ 4 Éb#uäöà)ø9$#ur ÏR Ìø.Ïe%!$# ÇÊÈ
Shaad, demi Al Quran yang mempunyai
keagungan.
Ayat di
atas adalah sebuah jawaban terhadap pertanyaan yang terdapat dalam ayat 4 dari
surah yang sama, yaitu;
(#þqç6Ågx ur br& Mèduä!%y` Ö É9Z"B öNåk÷]ÏiB ( tA$s%ur tbrãÏÿ»s3ø9$# #x9»yd ÖÅs»y" ë>#¤9x. ÇÍÈ
Dan mereka heran Karena mereka kedatangan
seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir
berkata: "Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta".
Jadi
dilihat dari semua uraian di atas dapat dimengerti bahwa dalam al-Quran bentuk
al-Su’al tersebut tidak harus dijawab dengan secara langsung adakalanya juga
dijawab dengan tempo, tempat/surah yang berbeda sehingga dengan demikian itu
al-Quran tidak dimaknai secara terpotong-potong. Serta hubungan ayat dengan
ayat yang lain itu menjadi diperhatikan.
D. PENUTUP
Kaidah
tafsir dapat diartikan sebagai pedoman dasar yang digunakan secara umum guna
mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Oleh karena penafsiran
merupakan suatu aktivitas yang senantiasa berkembang, sesuai dengan
perkembangan sosial, ilmu pengetahuan dan bahasa, kaidah-kaidah penafsiran akan
lebih tepat jika dilihat sebagai suatu prosedur kerja. Dengan pengertian ini,
kaidah tersebut tidak mengikat kepada mufasir lain agar menggunakan prosedur
kerja yang sama. Setiap mufasir berhak menggunakan prosedur yang berbeda
asalkan memiliki kerangka metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pada era
kontemporer kaidah tafsir semakin berkembang seiring dengan perkembangan
intelektualitas para pemikir muslim dan juga sesuai dengan perkembangan intelektualitas
global. Para pemikir muslim mengembangkan kaidah dan metode penafsiran sesuai
dengan situasi sosio-historis yang dihadapinya masing-masing.
Demikian
penulis menyusun makalah tentang kaidah as sual wal jawab, sedikit
banyak semoga dapat memberikan manfaat. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis fi
Ulum al-Quran, T.tp Mansyurat al-Asar al-Hadis, t.th
Nor Ihwan, Memahami Bahasa Al-Quran, ,
2002, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Qamaruddin Saleh Dkk, Asbabun Nuzul,
1997, Bandung, Diponegoo, cet xix
Abd al-Rahman al-Akk, Ushulul al-Tafsir
wa Qawaiduhu, 2003, Beirut:Dar al-Nafa’is, cet ke4
http://kumpulan-makalah-islami.blogspot.com/2010/01/kaida-kaidah-tafsir.html
[1] http://kumpulan-makalah-islami.blogspot.com/2010/01/kaida-kaidah-tafsir.html,
dikutip pada tanggal 9 Mei 2015@pukul 03.15PM
[2] Nor Ihwan,
Memahami Bahasa Al-Quran, (yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002),
hal.74. lihat juga Abd al-Rahman al-Akk, Ushulul al-Tafsir wa Qawaiduhu,
(Beirut:Dar al-Nafa’is, 2003) cet ke4, hal.312
[3] Qamaruddin Saleh Dkk, Asbabun Nuzul,
(Bandung, Diponegoo, 1997) cet xix, hal.59
[4] Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum
al-Quran, (T.tp Mansyurat al-Asar al-Hadis), t.th hal. 205
[5] Nor Ihwan, Memahami Bahasa Al-Quran, (yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2002), hal. 74
[6] Ibid. Hal. 77
[7] Abd al-Rahman al-Akk, Ushulul al-Tafsir wa
Qawaiduhu, (Beirut:Dar al-Nafa’is, 2003) cet ke4, hal. 318. Lihat juga Nor
Ihwan, Memahami Bahasa Al-Quran, (yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002),
hal. 79.
[8] Qamaruddin Saleh Dkk, Asbabun Nuzul,
(Bandung, Diponegoo, 1997) cet xix, hal.70.
[9] Abd al-Rahman al-Akk, Ushulul al-Tafsir wa
Qawaiduhu, opcit. hal.319.