BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
تَركْتُ فيكُمْ أَمْرَيْنِ لنْ تَضِلُّوا ما
تَمسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتاَبَ اللهِ ، وَسُنّةَ رَسُوْلِهِ
Aku tinggalkan
bagi kamu dua perkara yang mana kamu tidak akan sesat selagimana kamu berpegang
teguh kepadanya : Kitab Allah dan Sunnah RasulNya. (Hadis riwayat Imam Malik
& Tirmizi).
Hadist
merupakan dasar ajaran umat Islam setelah al qur’an. Meskipun demikian, Hadist
tidak dapat dipisahkan dengan Al Qur’an, karena hadist secara fungsioanal
merupakan ekspansi terhadap kandungan isi Al Qur’an. Sesuai dengan ayat Allah
dalam surat an nahl ayat 44 :
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ
لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ…
…Dan Kami turunkan
kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
Walaupun
hadist merupakan dasar umat Islam, tetapi sebagian umat Islam ada yang belum
mengerti apa itu makna hadist. Kadangkala, mereka mengartikan hadist sama
dengan sunnah, khobar, atau atsar. Hal ini dikarenakan
mereka hanya mempelajari secara dzohirnya saja, tidak mendalami dengan baik
pengertian dari hadist itu sendiri. Sehingga mereka menganggap sunnah, khobar atau atsar sama dengan hadist.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas,
penulis berusaha merumuskan pokok-pokok pembahasan sebagai berikut;
1. Apa
pengertian hadist, sunnah, khabar, Atsar, dan hadist qudsi?
2. Apa
perbandingan hadist nabawi, hadist qudsi dan al qur'an?
3.
Bagaimana setruktur hadits, mukhorrij, perawi (perawi pertama dan perawi
terahir), sanad dan matan?
4. Apa
kedudukan hadits dalam syariat Islam?
5.
Apa saja fungsi hadits terhadap al-quran?
3. Apa
saja tuduhan salah terhadap hadits (inkar as-sunnah)?
BAB I
PEMBAHASAN
A. Pengertian Makalah Hadist, Sunnah, Khobar, Atsar dan Hadist Qudsi
Dalam pembahasan ini, ada beberapa
pendapat yang membedakan atau menyamakan salah satu istilah dengan istilah
lainnya yang akan dibahas. Contohnya pengertian hadist dengan sunnah, ada
beberapa pendapat yang menyamakan dan juga ada yang membedakan. Untuk lebih
jelasnya, di sini akan dijelaskan pengertian Hadist, Sunnah, Khabar, Atsar, dan
hadist qudsi.
1. Pengertian Hadist
Sebelum membahas makna hadist secara terminologi, kali ini akan dibahas
terlebih dahulu pengertian hadist secara etimologi. Hadist berasal dari bahasa
arab yakni al haadist, bentuk jamak dari al ahaadist, al
hidsaan dan al hudsaan.[1]
Bentuk jamak al ahaadist disebut sebagai sima’i yaitu dalam
terminology disebut sesuatu yang didengar dari pembicaraan (kalam) bahasa arab
yang kemudian kata tersebut digunakan sebagaimana adanya dalam sehari-hari.
Sedangkan bentuk kedua lainnya disebut qiyasi, yaitu sesuatu yang
diqiyaskan dengan wazan tertentu. Dengan demikian, kata al hidsaan dan al
hudsaan itu diqiyaskan mengikuti wazan fi’lan dan fu’lan yang
dipakai sebagai standar baku dikalangan ahli bahasa. Di antara ketiga jamak
tersebut, kata al ahadist lebih banyak dipakai untuk menyebut hadist-hadist
Rasulullah, seperti ahadist Rasul, dan jarang sekali dipakai kata hudsaan
ar rasul ataupun hidsaan ar rasul.
Secara etimologi, hadist juga bias bermakana al jadiid (baru), lawan
dari al qadiim (terdahulu). Melihat dari makna al jadiid ini
berorientasi kepada kalam nabi Muhammad SAW, dan sebaliknya al qadiim
lebih berorientasi terhadap firman-firman Allah SWT.
Selain di atas,
hadist dalam makna etimologi bermakna Al khabaar (berita). Hal ini
disandarkan dari ungkapan dalam pemberitaan hadist yang diungkapakan oleh para
perawi yang menyampaikan periwayatannya. Jika bersambung sanadnya selalu menggunakan kata al
hudtsaan= memberikan kepada kami atau mengkhabarkan kepada kami.
Sedangkan makna hadist secara terminologi, para ahli hadist banyak yang
berbeda dalam memberikan redaksi tentang pengertian hadist, meskipun demikian
maknanya tetap sama.
Ulama Mahmud Ath Thanan (Guru besar hadist di fakultas Syari’ah dan Dirasa
Islamia di Universitas Kuwait) mendefinisikan :
Sesuatu
yang datang dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan atau perbuatan atau
persetujuan.[2]
Dalam beberapa
buku, para ulama berbeda dalam mengungkapkan datangnya Hadist tersebut,
diantaranya ada yang seperti di atas “Sesuatu yang datang” ada juga yang
menggunakan beberapa redaksi seperti “Sesuatu yang disandarkan…”, atau “Sesuatu
yang disandarkan kepada…” atau“Sesuatu yang dibangsakan kepada….” Atau
“Sesuatu yang diriwayatkan dari…”.
Redaksi di atas
berbeda, tapi maknanya tetap sama, yakni sesuatu yang datang atau bersumberkan
dari nabi atau disandarkan kepada nabi.
2. Pengertian Sunnah
Sunnah secara etimologi berasal dari bahasa Arab sanna, yasunna,
sunnatan, yang berarti perilaku yang mentradisi, norma-norma,
undang-undang.[3] Secara etimologi, istilah sunnah memiliki arti
yang berabeka ragam. Di antaranya السيرة المتبعة = Suatu perjalanan yang diikuti, baik
dinilai perjaanan baik atau perjalanan buruk. Misalnya sabda Nabi SAW:
من سن سنة خير فاتبع عليها فله أجره ومثل أجور من اتبعه
غير منقوص من أجورهم شيئا ومن سن سنة شر فاتبع عليها كان عليه وزره ومثل أوزار من
اتبعه غير منقوص من أوزارهم شيئا
Barangsiapa yang membuat suatu jalan (sunnah)
kebaikan, kemudia diikuti orang maka baginya pahalanya dan samdengan pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi
pahala mereka sedikitpun.
Makna lain dari
sunnah adalah العادة المستمرة = tradisi yang kontinu, misalnya firman Allah SWT dalam surat ala Fath : 23
سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلُ وَلَن
تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلا
Sebagai suatu "Sunnatullah"
(peraturan Allah) yang telah berlaku semenjak dahulu lagi; dan engkau tidak akan mendapati perubahan bagi
Sunnatullah itu.
Sedangkan Sunnah menurut istilah, para ulama ada perbedaan pendapat dalam
mendefinisikan. Di antaranya
adalah :
a) Menurut ulama Hadist (Muhaddistin).
Sunnah adalah
sinonim dari hadist. Di antara ulama mendefinisikan sunnah sebagai berikut, segala
perkataan Nabi Muhammad SAW, perbuatannya, dan segala tingkah lakunya.
b)
Menurut ulama Ushul Fiqh (Ushuuliiyuun)
Sunnah adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW
baik yang bukan alqur’an baik berupa segala perkataan, perbuatan, dan pengakuan
yang patut dijadikan dalil hokum syara’.
Sunnah menurut ulama Ushul fiqh hanya perbuatan yang dapat dijadikan hokum
dasar hokum Islam. Karena jika suatu perbuatan Nabi Muhammad SAW dijadikan
dasar hokum seperti makan, minum, meludah, dan lain-lain, maka pekerjaan
sehari-hari iu tidak bias dinamakan sunnah.
c) Menurut Ulama Fiqh (Fuqahaa)
Dalam
mendefinisiakn istilah sunnah, ulama fiqh berpendapat bahwa sunnah adalah
segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan maupun
pekerjaan, tetapi tidak wajib untuk dikerjakan. Dengan kata lain, Ulama Fiqh
mengartikan sunnah sebagai salah satu dari lima hokum Islam, yakni wajib, sunnah, haram,
makruh dan mubah. Jadi dengan kata lain pula, Ulama Fiqh mengartikan sunnah
adalah suatu pekerjaan yang bila dikerjakan mendapat pahala dan bila
ditinggalkan tidak mendapat siksa atau dosa.
3. Pengertian Khabar
Secara
etimologi, khabar diartikan النبأ = berita. Dan dari segi istilah di antar para ulama
mendefinisikan sebagai :
Sesuatu yang datang dari nabi Muhammad SAW dan
dari yang lain seperti para sahabat, tabi’in dan pengikut tabi’in atau
orang-orang setelahnya.
Dibandingkan
dengan hadist, para ulama ahli hadist memandang khabr lebih umum dibandingkan
hadist. Karena sesuai definisi yang diberikan di antara para ulama di atas,
bahwa khabar tidak hanya disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW melainkan selain
nabi juga, yakni para sahabat, tabi’in dan pengikut tabi’in.
4. Pengertian atsar
Secara etimologi atsar di artikan البقية او بقية الشئ
peninggalan atau bekas sesuatu, maksudnya peninggalan atau bekas Nabi (hadis).
Atau bisa diartikan
sebagai المقتول
(yang dipindahkan dari nabi), seperti: الدعاء الماءثور
artinya : doa yang disumberkan dari nabi.
Sedangkan secara
istilah bisa juga disebut sebagai:
ما روي عن الصحابة ويجوز اطلاقه على كلام النبي ايضا
Segala sesuatu yang diriwayatkan dari para
sahabat, dan boleh juga disandarkan pada Nabi.[4]
ان الحديث لا يختص بالمرفوع اليه صلى الله عليه وسلم بل
جاء بالموقوف وهو ما اضيف الى الصحابى والمقطوع وهو ما اضيف للتابعى
Bahwasanya hadis bukan hanya untuk sesuatu yang
marfu’, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, melainkan bisa juga
untuk sesuatu yang mauquf, yaitu yang disandarkan kepada para sahabat, dan yang
maqtu’, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada tabi’in.
Seseatu yang
disandarkan kepada para sahabat disebut berita mawquf. Sedangkan yang
datang dari para tabi’in disebut berita maqhtu.
5. Pengertian Hadist Qudsi
Hadist qudsi
disebut juga hadist Illahi atau hadist Rabbani. Melihat asal usul
katanya qudsi (suci), Illahi (Tuhan), dan Rabbani ( ketuhanan) karena ia
bersumber dari Allah SWT yang maha suci dan dinamakan hadist karena nabi yang
memberitakannya yang didasarkan dari wahyu Allah SWT.
Definisi hadis
qudsi ialah :
كل قول اضافه السول صلى الله عليه وسلم الى الله عز وجل
Segala perkataan
yang disandarkan Rasul SAW kepada Allah SWT.
Definisi ini menjelaskan, bahwa nabi hanya menceritakan berita yang
disandarkan kepada Allah, bentuk berita yang disampaikan tidak ada perbuatan
dan persetujuan sebagaimana hadist nabi biasa.
B. Perbandingan Hadist Nabawi, Hadist Qudsy, dan Al Qur’an
Hadist dapat dilihat dari
sandarannya yang ada dua; Pertama, disandarkan pada nabi sendiri disebut
Hadist Nabawi, kedua, disandarkan kepada Tuhan yang disebut Hadist
Qudsi.[5]
Untuk lebih jelasnya, hadist nabawi
merupakan sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW baik itu berupa
perkataan, perbuatan, atau persetujuan yang periwayatannya juga melalui beliau.
Sedangkan hadist qudsi, kalam-nya dinisbatkan kepada Allah SWT dan Rasulullah
SAW menceritakan dan meriwayatkan dari Allah SWT.
Bila di dalam hadist
terdapat kata-kata :
Rasul SAW telah bersabda,
sebagaimana yang diterima dari Tuhannya....
Atau Rasul SAW telah bersabda,
“Allah SWT berfirman….”
Bisa dipastikan bahwa hadist
tersebut merupakan hadist qudsi.
Istilah al qur’an menurut para
ulama banyak yang memberikan redaksi yang berbeda tentang definisi al qur’an,
tetapi definisi yang paling lengkap seperti yang dikatakan Dr. Subhi Shalih
dalam bukunya Mabaahits ‘Ulum Al Qur’an sebagai berikut :
Kalam Allah yang mengandung mu’jizat,
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tertulis pada muhsaf, diriwayatkan secara
mutawattir dan yang dinilai ibadah dengan membacanya.
Dari
definisi Al qur’an di atas, dapat kita jelaskan secara sederhana bahwa :
1.
Al qur’an adalah firman Allah SWT, bukan sabda
Nabi, manusia atau juga malaikan dan lain sebagainya.
2.
Al qur’an mengandung mu’jizat seluruh kandungannya
sekalipun sekecil huruf dan titinyapun dapat mengalahkan lawan-lawannya.
3. Al
qur’an diturunkan secara mutawatir sehingga kepastiannya itu mutlak. Sedangkan
hadist qudsi kebanyakan adalah khabar ahad sehingga kepastiannya masih
merupakan dugaan. Adakalanya
hadist qudsi itu shahih, hasan, terkadang pula dhaif.
4. Membaca al qur’an adalah ibadah
sedangkan membaca hadist qudsi tidak .
C Struktur Hadits
Yang dimaksud dengan struktur
Hadits disini ialah unsur-unsur yang harus ada dalam sebuah Hadits, yaitu harus
ada Sanad, Matan dan Rawi Haditsnya.
Sebagai gambaran awal kami
sajikan sebuah hadits yang terdiri dari Sanad, Matan, dan Rawi Haditsnya :
حدثنا
مسدد حدثنا معتمر قال سمعت أبي قال سمعت أنس بن مالك رضي الله عنه قال : كان النبي صلى الله عليه و سلم يقول ( اللهم إني
أعوذ بك من العجز والكسل والجبن
والهرم وأعوذ بك من فتنة المحيا والممات وأعوذ بك من عذاب القبر ) – )روه البخاري)
Artinya :
Musaddad
telah memberitahu kami, dia berkata : Muktamir telah memberitahu kami, dia
berkata : Aku mendengar ayahku berkata: Aku mendengar Anas bin Maalik,
radiyallahu ‘anhu berkata :“ Dahulu Nabi berdoa; Ya Allah,Aku berlindung
kepada-Mu dari ketidakmampuan dan kemalasan, kepengecutan dan kepikunan dan aku
berlindung kepada-Mu dari cobaan hidup dan kematian dan berlindung kepada-Mu
dari siksa kubur” (H.R. Bukhori)
1)
Sanad
Secara etimologis Sanad berarti “sesuatu yang kita
bersandar kepadanya, baik tembok maupun yang lainnya”, atau “sesuatu yang
berada di hadapan anda dan yang jauh dari kaki bukit ketika anda memandangnya”.
Bentuknya jamaknya adalah “isnad”. Sedangkan segala sesuatu yang disandarkan
kepada yang lain adalah musnad.
Sanad secara terminologis ialah:
طريق
متن الحديث
“Jalan yang menyampaikan kepada matan Hadits” atau
هو
طريق المتن, أي سلسلة الرواة الذين نقلوا المتن من مصدره الأول
“Sanad adalah jalan yang menyampaikan kepada
matan hadits yaitu silsilah para perawi yang memindahkan ( meriwayatkan ) matan
dari sumbernya yang pertama”
Sebagian ulama Hadits seperti Izzudin Ibnu
Jama’ah dan Ath-Thibi yang dikutip oleh Maslani dan Ratu Suntiah (Ikhtisar
Ulumul Hadits:13) mengatakan :
الا
خبار عن طريق متن
“Menerangkan
jalan yang menyampaikan kita kepada matan Hadits”
T.M. Hasbi Ashidddieqi (Pokok-pokok Ilmu Dirayah
Hadits : 42) meringkas definisi sanad dengan istilah “yang disebutkan sebelum
hadits”.
Pada dasarnya rangkaian para perawi yang memindahkan
matan dari sumber primernya disebut sanad.
Sedangkan Isnad berarti menyandarkan atau mengangkat
hadits kepada pengucapnya, yakni menjelaskan jalur matan dengan periwayatan
hadits secara berantai. Namun
terkadang para Muhaddits menggunakan kata Isnad dan Sanad dengan makna sama.
Dari
berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa terminologi sanad adalah
jalannya hadist, maksudnya
mata rantai (jalur) para periwayat yang menghubungkan sampai ke matan mulai
dari awal hingga akhir.
Contoh sanad dari Hadits Riwayat Bukhori
tersebut adalah :
حدثنا مسدد حدثنا معتمر قال سمعت أبي قال سمعت أنس بن
مالك رضي الله عنه قال : كان النبي صلى الله عليه و سلم يقول
Musaddad telah memberitahu kami, dia berkata : Muktamir telah memberitahu kami, dia berkata : Aku mendengar ayahku berkata:
Aku mendengar Anas bin Maalik, radiyallahu ‘anhu berkata :“ Dahulu Nabi berdoa
:
2) Matan
Secara
etimologis berarti segala sesuatu yang keras bagian atasnya. Bentuk jamaknya “mutun”
dan “mitan”. Dan Matan juga bisa berarti bagian permukaan yang tampak
darinya, juga bagian bumi yang tampak menonjol dan keras.
مَتَّنَ الْقَوْسَ تَمْتِيْنًا (seseorang
mengikat anak panah dengan tali)
Secara Istilah berdasarkan pendapat Ath-Thibi, matan
ialah :
الفاظ
الحديث التى تتقوم بها المعا نى
“Lafadh-lafadh
hadits yang dengan lafadh-lafadh itulah terbentuk ma’na”
Ada
juga yang mengartikan “Ujung Sanad” sebagai mana dikutip Maslani
dan Ratu Suntiah (Ikhtisar Ulumul Hadits:15). dari Mudasir, 2008:62.
Dengan demikian maka Matan itu ialah redaksi hadits
yang menjadi unsur pendukung pengertiannya.
Dan diberi nama matan karena hal ini yang paling
penting, yang dicari dan yang menjadi tujuan dari sebuah hadits. Adapun contoh
matan Hadits adalah :
اللهم إني أعوذ بك من العجز والكسل والجبن والهرم وأعوذ
بك من فتنة المحيا والممات وأعوذ بك من عذاب القبر
( Ya Allah,Aku berlindung kepada-Mu dari
ketidakmampuan dan kemalasan, kepengecutan
dan kepikunan dan aku berlindung kepada-Mu dari cobaan hidup dan kematian
dan berlindung kepada-Mu dari siksa kubur)”
3) Rawi/Mukhorij
Rawi menurut bahasa, adalah orang yang meriwayatkan
hadits atau memberitakan hadits. Menurut Maslani dan Ratu Suntiah (Ikhtisar
Ulumul Hadits:16) bahwa sanad dan Rawi itu merupakan dua istilah yang tidak
dapat dipisahkan. Sana-sanad pada tiap Thobaqoh-nya, juga disebut rawi, jika
yang dimaksud dengan rawi adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan
hadits. Akan tetapi, yang membedakan antra rawi dan sanad terletak pada
pembukuan atau pen-tadwinan Hadits.
Menurut A.Hasyim yang dikutip Maslani dan Ratu Suntiah
(Ikhtisar Ulumul Hadits:17), rawi ialah orang yang menyampaikan dan menuliskan
dalam suatu kitab apa-apa yang telah didengar dari seorang gurunya (A.Hasyim,
2004:120)
Jadi rawi itu ialah “orang yang menukil,
memindahkan atau menuliskan hadits dengan sanadnya baik itu laki-laki maupun
perempuan” . Atau “orang yang
menyampaikan atau menuliskan hadits dalam suatu kitab”..
Perbuatannya menyampaikan hadits tersebut dinamakan merawi atau meriwayatkan hadits dan
orangnya disebut perawi hadits.
Syarat-Syarat
Rawi sebagai berikut :
1.
Islam, karena itu, hadits dari orang
kafir tidak diterima.
2.
Baligh, hadits dari anak kecil di tolak
3.
‘Adalah (sifat adil)
4.
Dhobth (teliti, cerdas dan kuat
hafalannya)
Sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits dari
Rosul, antara lain:
Adapun mukharrij (مخرّج) berasal dari kata: kharraja (خرّج) :
“orang yang mengeluarkan”. -> mukharrij (مخرّج) Akhraja (أخرج) -> mukhrij (مخرج) Menurut para Ahli Hadits,
mukharrij:
الحديث
بجمع يشتغل الذي هو المخرج \ المخرّج
“mukharrij
atau mukhrij ialah orang yang menyusun (mengumpulkan) hadits“
Rawi atau Mukhrij adalah bagian yang tak terpisahkan
dari bangunan sebuah hadits, maksudnya ialah “Orang yang mentakhrij hadits
dan mengumpulkannya pada satu kitab hadits” Misalnya, Imam
Bukhari, Imam Muslim, dan yang lainnya. Atau Mukhorij dapat diartikan
orang yang menyebutkan perawi hadits. Adapun contoh Rawi/Mukhorij
dari Hadits tersebut di atas ialah : روه البخاري artinya Hadits Riwayat
Bukhori. Jadi dengan demikian Rowinya itu ialah Bukhori.[6]
D. Kedudukan Hadits Dalam Syariat
Islam
Seluruh umat Islam, telah sepakat
bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Ia mempati
kedudukan kedua setelah Al-Qur`an. Keharusan mengikuti hadits bagi umat Islam
baik yang berupa perintah maupun larangannya, sama halnya dengan kewajiban
mengikuti Al-Qur`an.
Hal ini karena, hadis merupakan mubayyin
bagi Al-Qur`an, yang karenanya siapapun yang tidak bisa memahami
Al-Qur`an tanpa dengan memahami dan menguasai hadis. Begitu pula halnya
menggunakan Hadist tanpa Al-Qur`an. Karena Al-qur`an merupakan dasar hukum
pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syari`at. Dengan demikian, antara
Hadits dengan Al-Qur`an memiliki kaitan erat, yang untuk mengimami dan
mengamalkannya tidak bisa terpisahkan atau berjalan dengan sendiri.[7]
Al-Qur’an itu menjadi sumber hukum
yang pertama dan Al-Hadits menjadi asas perundang-undangan setelah Al-Qur’an
sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Yusuf Al-Qardhawi bahwa Hadits adalah “sumber hukum syara’
setelah Al-Qur’an”
Al-Qur’an dan Hadits merupakan
sumber pokok ajaran Islam dan merupakan rujukan umat Islam dalam memahami
syariat. Pada tahun 1958 salah seorang sarjana barat yang telah mengadakan
penelitian dan penyelidikan secara ilmiah tentang Al-Qur’an mengatan bahwa : “Pokok-pokok ajaran Al-Qur’an begitu dinamis serta
langgeng abadi, sehingga tidak ada di dunia ini suatu kitab suci yang lebih
dari 12 abad lamanya, tetapi murni dalam teksnya”
Menurut Ahmad hanafi “Kedudukan
Hadits sebagai sumber hukum sesudah Al-Qur’an…merupakan hukum yang berdiri
sendiri.”
Keberlakuan hadits sebagai sumber
hukum diperkuat pula dengan kenyataan bahwa Al-Qur`an hanya memberikan
garis-garis besar dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan rincian
lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Karena itu,
keabsahan hadits sebagai sumber kedua secara logika dapat diterima.Di antara
ayat-ayat yang menjadi bukti bahwa Hadits merupakan sumber hukum dalam
Islam adalah firman Allah dalam
Al-Qur’an surah An- Nisa’: 80
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ … (80)
“Barangsiapa yang mentaati Rosul, maka sesungguhnya
dia telah mentaati Alloh…”[8]
Sejak masa sahabat sampai hari ini
para ulama telah bersepakat dalam penetapan hukum didasarkan juga kepada Hadits
Nabi, terutama yang berkaitan dengan petunjuk operasional.
Dalam ayat lain Allah berfirman QS.
Al-Hasyr :: 7
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ
عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan
Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu,
makatinggalkanlah.”
Dalam
Q.S An Nisa’ 59, Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي
شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ …
“Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembali kanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)…”
Dari
beberapa ayat di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak cukup hanya
berpedoman pada Al-Qur’an dalam melaksanakan ajaran Islam, tapi juga wajib
berpedoman kepada Hadits Rasulullah Saw.[9]
E. Fungsi Sunnah Terhadap
Al-qur`an
Yang di maksud As-sunnah adalah Sunnah
Nabi, yaitu segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad berupa perkataan,
perbuatan, atau persetuajunnya (terhadap perkataan atau perbuatan para
sahabatnya), yang di tunjukan sebagai syari’at bagi umat ini.
Namun menunjukkan bahwa masalah-masalah yang terdapat dalam
al-qur`an dan juga di dalam hadist atau sunnah itu sangat penting untuk
diimani, dijalankan dan dijadikan pedoman dasar oleh sitiap muslim.[10]
Adapun Nisbah as-sunnah dengan Al-Qur`an ditinjau dari segi
penggunaan hujjah dan pengambilan hukum-hukum yang sederajat lebih rendah
daripada Al-Qur`an. Artinya ialah bahwa seorang mujtahit dalam menetapkan hukum
suatu peristiawa tidak akan mencari dalam as-sunnah terlebih dahulu, kecuali
bila ia tidak mendapat ketentuan hukumnya di dalam Al-Qur`an. Hal itu di
sebabkan karena Al-qur`an menajdi dasar perundang-undangan dan sumber hukum
pertama.
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi
sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas daripada
ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan
dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :
1) Bayan Tafsir,
yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal
dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah
kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat
Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat). Demikian pula
hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah
tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja[11]”
( Dan sempurnakanlah hajimu ).
2) Bayan Taqrir,
yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan
memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti hadits yang berbunyi: “Shoumu
liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah karena melihat bulan dan
berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah[12] :
185.
3) Bayan Taudhih,
yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat
Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan
supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih
(penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya sebagai
berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak
membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih[13]”.
4) Bayan at-Tasyri`
Kata at-tasyri`
,artinya pembuatan, mewujudkan,atau menetapkan aturan atau hukum. Maka yangd di
maksud dengan bayan at-tasyri` di sini ialah penjelasan hadis yang
berupa mewujudkan, mengadakan atau menetapkan suatu hukum atau aturan-aturan
syara` yang di dapati nashnya dalam Al-qur`an.
5) Bayan an-Nasakh
Kata an-nasakh secara bahasa, bermacam-macam
arti. Bisa berarti al-ibthal (membatalkan), atau al-ijalah (menghilangkan),
atau at-tahwil (memindahkan), atau at-tagyir (mengubah).
Dari pengertian di atas, bahwa ketentuan yang dating
kemudian dapat menghapus ketentuan yang dating terdahulu. Hadis sebagai
ketentuan yang dating kemudian dari pada al-Qur`an dalam hal ini dapat
menghapus ketentuan atau isi kandungan Al-qur`an.
Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa
berat untuk melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang
kemudian dijawab dengan hadits tersebut.
Jumhur ulama mengatakan bahwa al-sunnah merupakan
urutan ke dua setelah al-qur`an. Untuk
hal ini al-suyuthi dan al-Qasimi mengemukakan argumentasi rasional dan
argumentasi tekstual.[14]
Di antara argumentasi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Al-qur`an bersifat qath`i al-wurud, sedangkan al-Sunnah
bersifat zhanni al-wurud. Karena itu yang qadh`i harus di
dahulukan dari pada yang dzanni.
2. Al-Sunnah berfungsi sebagai penjabaran al-Qur`an. Ini harus di artikan
bahwa yang menjelaskan berkedudukan setingkat di bawah yang di jelaskan.
3. Ada beberapa hadist dan atsar yang menjelaskan urutan dan
kedudukan al-sunnah setelah al-qur`an. Diantara dialog Rasulullah dengan Mu`az
bin Jabal yang akan di utus ke negeri Yaman sebagai qadli. Nabi bertanya
:``dengan apa kau putuskan suatu perkara’’? Mu`az menjawab,’’``dengan kitab
Allah``. Jika tidak ada nashnya, maka dengan sunnah Rasul, dan jika tidak ada ketentuan
dalam sunnahh, maka dengan berijtihad``.
4. Al-qur`an sebagai wahyu dari sang pencipta, Allah SWT,sedangkan hadist
berasal dari hamba dan utusannya, maka selayaknya bahwa yang berasal dari sang
pencipta lebih tinggi kedudukannya dari pada yang berasal dari hamba yang
utusanNya.[15]
Dalam Al-qur`an menyatakan bahwa kedudukan Al-sunnah sebagai
sumber hukum islam setelah al-qur`an berada dalam surat al-annisa ayat 59 yang berbunyi :
ا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِيالأمْرِ مِنْكُم
Artinya :
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu.[16]
Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum
Muslimin) kedua Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an
sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah
juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah
sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetapai juga murtad
hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti
tentang kebenaran
Al-Hadits, ini sebagai sumber hukum Islam. Di dalam Al-Quran
dijelaskan antara lain sebagai berikut:
1.
Orang yang menyalahi
Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5, An-Nisa:
115).
إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ كُبِتُوا كَمَا كُبِتَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَقَدْ أَنْزَلْنَا
آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ مُهِينٌ
Artinya :
``Ketentuan) yang demikian itu adalah karena
sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya; dan barang siapa menentang
Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya.[17]
Dan Allah Juga
Menerangkan dalam Surat
Al-mujadilah bahwa orang yang menyalahi sunnah akan mendapat siksa, yang
berbunyi :
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ
بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Artinya :
``Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.
F. Beberapa Tuduhan Salah
Terhadap Hadits (inkar as-sunnah)
Salah satu gugatan yang dilontarkan
oleh kalangan orientalis ketika menggugat otentisitas hadits adalah pernyataan
tentang ketiadaan data historis dan bukti tercatat (documentary evidence)
yang dapat memastikan otentisitas hadits. Hal ini (menurut mereka) disebabkan
tidak adanya kitab-kitab atau catatan-catatan hadits dari para sahabat RA. Dan
menurut mereka hadits-hadits yang ada baru dicatat pada abad kedua dan ketiga
hijriah. Secara implisit mereka hendak mengatakan bahwa hadits yang ada
sekarang tidak asli dari Muhammad Saw, dan tidak lebih hanyalah buatan para
ulama dan generasi setelah Rasul Saw dan para Sahabat RA. Benarkah demikian?
Orientalisme
adalah tradisi kajian keislaman yang berkembang di Barat. Dr.Syamsuddin Arif
mengatakan, “gugatan orientalis terhadap hadits bermula pada pertengahan
abad ke-19 M, tatkala hampir seluruh bagian Dunia Islam telah masuk dalam
cengkraman kolonialisme bangsa-bangsa Eropa. Adalah Alois Sprenger, yang
pertama kali mempersoalkan status hadits dalam Islam. Dalam pendahuluan bukunya
mengenai riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad SAW, misionaris asal Jerman
yang pernah tinggal lama di India ini mengklaim bahwa hadits merupakan kumpulan
anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik).”
Secara
umum kajian yang dilakukan oleh kalangan orientalis memang memiliki
kecenderungan dan motif yang berbeda. Ada yang berniat “mencari” kebenaran dan
tidak sedikit juga yang mencari kelemahan Islam. Jika sebagian orientalis yang
sungguh-sungguh mencari kebenaran dari Islam melakukan kajian dengan ilmiah dan
obyektif, maka sebagian yang lain yang berniat mencari kelemahan Islam justru
melakukan kajian secara tidak obyektif (subyektif) dan penuh rasa curiga.
Kemudian hasil kajian tersebut digunakan untuk menyerang Islam, salah satunya
dengan menggugat otentisitas hadits dengan mengatakan bahwa hadits adalah
rekayasa para ulama abad kedua hijriah.[18]
Tuduhan
semacam ini muncul dari beberapa tokoh orientalis, salah satunya adalah Joseph
Schacht dalam bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Kajiannya
diawali dengan meneliti proses kemunculan Hukum Islam. Dia berpendapat bahwa
Hukum Islam baru berwujud pada masa setelah al-Sya’bi (w. 110 H). hal ini
berarti hadits-hadits yang berkenaan dengan hukum Islam adalah buatan orang-orang
setelah al-Sya’bi. Karena ia beranggapan bahwa hukum Islam baru dikenal pada
masa pengangkatan para qadhi. Maka kesimpulan yang didapat dari hasil
kajiannya tersebut bahwa keputusan-keputusan yang diambil para qadhi itu
memerlukan legitimasi dari orang yang memiliki otoritas lebih tinggi sehingga
mereka menisbahkannya kepada orang-orang sebelum mereka sampai pada totoh-tokoh
generasi tabi’in, para Sahabat, dan berakhir pada Nabi Muhammad Saw. inilah
rekonstruksi sanad menurut Schacht.
Hasil
kajian Schacht tersebut sebenarnya telah dibantah oleh Muhammad Musthafa Azami,
seorang ulama dari India. MM Azami telah mengkritik kesalahan dan kecerobohan
yang dilakukan oleh Schacht. Menurutnya, metode yang dipakai oleh Scathc dengan
meneliti sanad hadits dari kitab-kitab fiqh jelas keliru. Seharusnya Schacht
merujuknya dari sumber utama yaitu kitab-kitab hadits sehingga tidak akan
menghasilkan kesimpulan yang keliru. Menurut penelitian yang dilakukan oleh MM
Azami, sebenarnya pemakaian sanad , jauh-jauh hari telah dilakukan oleh
masyarakat Arab secara umum. Artinya tradisi tersebut telah ada dan dilakukan
oleh para Sahabat untuk meriwayatkan hadits.
Tampaknya
hasil kajian Schacht mulai menunjukkan kelemahan dengan banyaknya bantahan dari
pakar Islam. Adalah Dr. Ugi Suharto dengan analisanya telah menguatkan bantahan
M.M. Azami terhadap Schacht. Beliau mengatakan bahwa tradisi periwayatan hadits
dengan isnad telah dimulai sejak para Sahabat menerima hadits dari Rasul Saw.
Salah satu contoh yang dikemukakan oleh Dr. Ugi Suharto adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya bahwa Rasul Saw telah bersabda: “Hendaklah
orang yang muda memberi salam kepada yang tua, yang berjalan kepada yang duduk,
dan yang sedikit kepada yang banyak.” Hadits ini diriwayatkan oleh Abu
Dawud dari Ahmad ibn Hanbal dari ‘Abd al-Razzaq dari Ma’mar dari Hammam ibn
Munabbih dari Abu Hurairah r.a.
Dalam
rangkaian sanad tersebut yang menarik adalah bahwa semua rawi tersebut adalah
ahli hadits dan memiliki kitab-kitab hadits. Sebagaimana diketahui bahwa Abu
Dawud (w. 275 H/888 M) adalah murid dari Imam Ahmad (w. 241 H/855 M) dan
meriwayatkan hadits darinya. Hadits
di atas terdapat dalam Sunan Abu Dawud dalam Kitab al-Adab, bagian
Bab Man Awla bi al-Salam. Hal demikian sudah tentu Abu Dawud selama belajar
kepada Imam Ahmad sempat menyimak Musnad milik Imam Ahmad. Ternyata ketika
membuka Musnad Imam Ahmad hadits tersebut ditemukan di sana. Hal tersebut dapat kita simpulkan bahwa
Musnad Imam Ahmad turut berperan menjadi rujukan Imam Abu Dawud.
Usaha
kalangan orientalis yang menyerang agama ini akan terus menemui kebuntuan. Hal
ini karena para ulama dan para fuqoha serta orang-orang yang ikhlas tidak akan
pernah berhenti menyingkap kebohongan-kebohongan mereka dengan menampakkan
kebenaran Islam. Serta mengembalikan dan meluruskan kembali pemahaman kaum
muslimin, menyingkirkan racun pemikiran (sekulerisme, liberalisme, pluralisme,
serta seluruh derivasinya) hingga umat ini bisa membedakan antara yang bathil
dan yang haq.
Walhasil,
tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan agama ini selain mengembalikan
pemikiran kaum muslimin berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dan
memahami keduanya sebagaimana pemahaman para Sahabat RA dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik.[19]
BAB III
PENUTUP
Dari pembahasan makalah di atas penulis memberikan beberapa kesimpulan,
antara lain:
1. Hadits
menurut istilah ahli hadits hampir sama (murodif) dengan sunah, yang
mana keduanya memiliki arti segala sesuatu yang berasal dari Rasul, baik
setelah dingkat ataupun sebelumnya.
2. Sunnah
menurut istilah ahli ushul fiqh adalah segala sesuatu yang berasal dari
Nabi-selain al Qur’an- baik berupa perkataan, perbuatan ataupun taqrir yang
bisa dijadikan dalil bagi hukum syar’i.
3.
Khabar menurut
pengertiannya, sifatnya lebih umum dibandingkan dengan hadist dan sunnah.
4.
Atsar menurut
pengertian, sifatnya lebih umum dibandingkan dengan hadist, sunnah dan khabar.
5.
Hadist Qudsi menurut
pengertian adalah sesuatu yang dinisbatkan kepada Allah SWT, sedangkan Rasul
SAW menceritakan dan meriwayatkan dari Allah SWT
6.
Hadist nabawi merupakan segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasulullah
dan diriwayatkan dari beliau. Adapun hadist qudsi dinisbatkan kepada Allah yang
berupa kalam, sedangkan Rasul SAW menceritakan dan meriwayatkan dari Allah SWT.
Sedangkan al qur’an merupakan mukjizat yang diturunkan Allah kepada Nabi
Muhammad secara mutawattir dan yang membacanya merupakan ibadah berbeda dengan
hadis nabawi atau hadist qudsi yang membacanya bukan termasuk bentuk ibadah.
DAFTAR PUSTAKA
Ichwan, Mohammad Nor, 2007. Studi Ilmu Hadis. Semarang; RaSAIL Media Grup.
Khon, Abdul Majid, 2009. Ulumul Hadis. Jakarta; KDT
Solahuddin, M. Agus, 2008. Ulumul Hadis. Bandung; Pustaka Setia
Diktat Mata Kuliah Ulumul Hadist STAIL Hidayatullah Surabaya 2007.
http//:www.perbedaan-antara-sunnah-dengan-hadits.html
Diktat Mata Kuliah Ulumul Hadist STAIL Hidayatullah Surabaya 2007
Abdul Maid Khon, Ulumul Qur’an, hal. 11
Mahmud Yunus, Ilmu Mushthalah al-Hadits, Jakarta: Sa’diyah Putra, t.th., h. 21.
Https://Www.Academia.Edu/7350270/Hadits_Dan_Kedudukannya_Dalam_Syariat_Islam,
dikutip pada tanggal 25 November 2014
A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, Bandung : Diponogoro, 2007
Mudasir,ilmu hadis,(Bandung.CV Pustaka Setia)
Munzier Saputra,Ilmu Hadis,(Jakarta:PT
RajaGrafindo,2002)
Abuddin Nata,AL-qur`an
dan Hadis,(Jakarta:PT
RajaGrafindo,2000)
Utang Ranuwijaya,Ilmu Hadis,( Jakarta: Gaya Media Pratama,1996)
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,(Jakarta:Bulan Bintang).
Edi Syafri,Al-Imam Syafi’I : Metode Penyelesaian Hadis-Hadis
Mukhtalif, (Padang: IAIN IB Press, 1999)
Muhammad ma’shum Zein, H. Drs, Ulumul Hdits dan Mustholah hadits,
Darul-Hikmah, Jlopo Tebel Bareng Jombang Jatim, cet.1, 2008.
[1] Mochammad Nor Ichwan, Studi Ilmu
Hadis. Hal. 3
[2] Abdul Majid Khon, Ulumul Qur’an.
Hal. 2
[3] Mochammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis. Hal.
5
[4] Diktat Mata Kuliah Ulumul Hadist STAIL
Hidayatullah Surabaya 2007, hal 11
[5] Abdul Maid Khon, Ulumul Qur’an, hal. 11
[6]
Mahmud Yunus, Ilmu Mushthalah al-Hadits, Jakarta:
Sa’diyah Putra, t.th., h. 21.
[7] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Hal.
14
[8] Https://Www.Academia.Edu/7350270/Hadits_Dan_Kedudukannya_Dalam_Syariat_Islam,
dikutip pada tanggal 25 November 2014
[9] A.
Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, Bandung : Diponogoro, 2007. hlm 38
[10]
Mudasir,ilmu hadis,(Bandung.CV Pustaka Setia),hal 206
[11]
Mudasir. . .hal 207
[12] tang Ranuwijaya,Ilmu Hadis,( Jakarta:
Gaya Media Pratama,1996). Hal 27
[13] unzier Saputra,Ilmu Hadis,(Jakarta:PT
RajaGrafindo,2002).hal 53
[14] Abuddin Nata,AL-qur`an
dan Hadis,(Jakarta:PT
RajaGrafindo,2000). Hal 203
[15]
Abuddin Nata. Hal 24-25
[16] Utang Ranuwijaya,Ilmu Hadis,(
Jakarta: Gaya Media Pratama,1996) Hal 4
[17] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadits,(Jakarta:Bulan Bintang).hal 23
[18] Edi Syafri,Al-Imam Syafi’I : Metode
Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, (Padang: IAIN IB Press, 1999), hlm 83
[19] Muhammad ma’shum Zein, H. Drs, Ulumul
Hdits dan Mustholah hadits, Darul-Hikmah, Jlopo Tebel Bareng Jombang Jatim,
cet.1, 2008. hlm 65