Ini merupakan CONTOH PEMBUATAN MAKALAH PERINSIP EKONOMI ISLAM KELAS 11 SMA dan SMK yang bisa digunakan untuk rujukan pembuatan makalah dengan tema dan judul serupa sehingga memudahkan siswa untuk menyusun, contoh ini hanya sebagai pembanding atau bahan materi sehingga penyusun dapat mengembangkan materi sesuai dengan arahan guru pembimbing.
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu
Alhamdulillahirabbialamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit
sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian
alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira
besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul makalah
“Prinsip Ekonomi Islam”.
Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak,
karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua
orang tu, guru, dan teman-teman. Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal,
semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah
yang lebih baik lagi.
Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Watampone, 24 Januari 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar
ii
Daftar
Isi
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
A.Latar
Belakang
1
B.Rumusan
Masalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
A. Pengertian
Muamalah
3
B. Asas
Transaksi
5
C.
Macam-Macam
Muamalah
8
BAB III PENUTUP
27
A.Kesimpulan
27
B.Saran
28
DAFTAR
PUSTAKA
29
==================================================================
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah Swt. menjadikan kita sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya tidak bisa dilakukan tanpa bantuan orang lain. Ini
artinya kita harus melakukan interaksi atau hubungan dengan sesama. Kita perlu
hidup tolong-menolong, tukar-menukar keperluan dalam segala urusan hidup
masing-masing, baik dengan jalan jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam,
maupun utangpiutang. Termasuk juga dalam kegiatan yang lainnya seperti bercocok
tanam atau kegiatan berusaha yang lain. Dengan cara demikian, kehidupan
masyarakat menjadi teratur, hubungan yang satu dengan yang lainnya menjadi
lebih baik.
Namun demikian, sifat buruk sering kali menghinggapi diri kita. Contohnya
tamak. Sifat tamak ini mendorong kita selalu mementingkan diri sendiri dan lupa
terhadap kepentingan orang lain, bahkan masyarakat pada umumnya. Inilah yang
menjadi kegelisahan kita sehingga kehidupan tidak lagi nyaman dan tenteram.
Tamak, bisa mendorong kita untuk mengambil alih hak orang lain. Oleh karena itu,
agama memberi peraturan yang sebaik-baiknya tentang bagaimana kita melakukan
interaksi dengan manusia yang lainnya.
Hukum yang mengatur hubungan antarsesama manusia ini disebut mu’āmalah.
Tujuan diadakannya aturan ini adalah agar tatanan kehidupan masyarakat berjalan
dengan baik dan saling menguntungkan. Allah Swt. berfirman:
....... ......
Artinya: “...dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat....” (Q.S. al-
Maidāh/5: 2)
Islam adalah agama yang sempurna. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai
cara Islam dalam mengatur interaksi antar manusia atau mu’amalah. Silakan
ikuti penjelasannya di bab ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian mu’amalah ?
2. Bagaimana asas transaksi ekonomi
Islam ?
3. Bagaimana macam-macam mu’amalah ?
===================================================================
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mu’amalah
Menurut bahasa Arab, mu’amalah bermakna attasarruf (pengelolaan),
atau al-akhu wa al-’a a’ (mengambil dan memberi atau interaksi
timbal balik). Sedangkan menurut istilah ulama fikih, mu’amalah adalah
hukum syariat yang mengatur interaksi antara manusia satu dengan
manusia yang lain, khususnya yang menyangkut persoalan-persoalan ekonomi. Mu’amalah dari
sisi tujuannya dibagi menjadi tiga macam;
1. Mu’amalah yang
ditujukan untuk memiliki atau menguasai harta; misalnya bekerja (ijarah),
berburu, hadiah, pemberian negara, dan waris. Mu’amalah semacam
ini ditujukan untuk memperoleh atau memiliki harta. Dengan bekerja, seseorang
berhak mendapatkan dan memiliki gaji. Dengan waris, seseorang berhak
mendapatkan dan memiliki harta waris; begitu pula dengan berburu, pemberian
oleh negara, mendapatkan hadiah, seseorang berhak mendapatkan dan memiliki harta.
2. Mu’amalah yang
ditujukan untuk mengembangkan atau mengelola harta kepemilikan, misalnya syirkah dengan
berbagai macamnya, pertanian, peternakan, jual beli dengan berbagai macam
ragamnya, penyewaan, pembiayaan, dan lain sebagainya. Dengan syirkah,
penyewaan, dan pembiayaan, seseorang bisa mengembangkan harta yang dia miliki;
begitu pula dengan pertanian, peternakan, dan jual beli, seseorang bisa
mengelola dan mengembangkan hartanya, agar berkembang dan bertambah.
3. Mu’amalah yang
ditujukan untuk mendistribusikan harta di tengah-tengah masyarakat; misalnya
pemberian subsidi dan transfer kepada rakyat, zakat, sedekah dan infaq. Mu’amalah seperti
zakat, sedekah, infaq, pemberian hadiah, ditujukan agar seseorang bisa
mendistribusikan harta kekayaan yang ia miliki tanpa harus menarik kompensasi
dari orang yang diberinya. Mu’amalah seperti ini memang
benar-benar ditujukan untuk meratakan atau mendistribusikan kekayaan di
tengah-tengah masyarakat agar tidak terjadi dominasi dan penguasaan harta hanya
pada segelintir orang.
Perintah untuk melakukan mu’amalah dengan cara yang baik
telah disebutkan di dalam Al-Qur’an dan sunnah. Di dalam Al-Qur’an, Allah Swt
berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu”. [QS An-Nis ’ (4): 29]
Firman Allah SWT dalam QS. Al-Maidah ayat 1
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan
kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu
ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan
hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”. [QS Al-M idah
(5): 1]
Sedangkan di dalam sunnah, Nabi Saw bersabda:
“Janganlah seseorang menawar barang yang telah ditawar oleh saudaranya, dan janganlah
seseorang melamar wanita yang telah dilamar oleh saudaranya,
kecuali setelah meminta ijin kepadanya terlebih dahulu”. [HR
Imam Muslim, dari Abu Hurairah Ra].
B. Asas Transaksi Ekonomi Islam
Ekonomi adalah bidang studi yang mengkaji bagaimana manusia memproduksi berbagai
macam komoditas, untuk kemudian didistribusikan kepada individu atau kelompok
yang ada di masyarakat. Kegiatan ekonomi ada tiga macam, produksi, distribusi,
dan konsumsi. Namun, yang paling diperhatikan dan dijadikan kajian utama
ekonomi adalah produksi dan distribusi. Sebab, kegiatan ekonomi ditujukan agar
manusia bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya; dan kebutuhan hidup manusia
hanya akan terpenuhi jika ada alat pemuas (barang dan jasa) dan sampainya alat
pemuas tersebut kepada individu.
Alat pemuas bisa dijaga ketersediaannya jika di sana ada produksi. Hanya
saja, agar alat pemuas tersebut bisa sampai kepada individu-individu yang ada
di tengah-tengah masyarakat, harus ada mekanisme distribusi di tengah-tengah
mereka. Pasalnya, adanya alat pemuas yang melimpah tidaklah berarti sama
sekali, jika tidak terdistribusi di tengah-tengah masyarakat.
Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa transaksi ekonomi Islam harus
berdiri di atas asas-asas di bawah ini:
1. Transaksi ekonomi yang ada masyarakat
harus selalu sejalan dengan syariat Islam. Kegiatan ekonomi yang tidak sejalan
dengan syariat Islam dikategorikan sebagai transaksi ekonomi batil dan tidak
boleh berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kesesuaian transaksi ekonomi
dengan hukum syariat mencakup barang yang ditransaksikan, orang yang
bertransaksi, dan aqad transaksi.
2. Seluruh transaksi ekonomi harus
ditujukan untuk sebesarbesar kemakmuran masyarakat, bukan ditujukan untuk
kemakmuran sekelompok atau individu-individu tertentu di tengah-tengah
masyarakat. Allah Swt berfirman, yang artinya: “Supaya harta tidak
hanya beredar di antara orang- orang kaya diantara kalian”. [QS Al -Hasyr
(59):7].
3. Transaksi ekonomi harus berlandaskan
prinsip keikhlasan dan suka sama suka. Tidak boleh ada pemaksaan, penganiayaan,
dan penipuan dalam transaksi ekonomi Islam. Allah Swt berfirman, yang
artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. [QS An-
Nis ’ (4):29].
4. Seluruh transaksi ekonomi harus
berdasarkan aqad yang jelas, tidak samar dan kabur. Islam
telah melarang jual beli bersyarat, dua aqad dalam satu aqad,
spekulasi (garar), dan kecurangan dalam takaran; sebab, transaksi
semacam ini tidak jelas, kabur, dan membuka peluang terjadinya penipuan. Selain
itu, kejelasan aqad sebelum transaksi dilakukan, akan menutup
celah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak yang bertransaksi kelak
di kemudian hari. Berkaitan dengan itu, terdapat sabda-sabda Nabi Saw yang
artinya:
“Barang siapa yang melakukan aqad salaf pada suatu barang, maka hendaklah
ia melakukannya dalam takaran yang telah diketahui dan timbangan yang telah
diketahui sampai pada tempo yang telah diketahui”. [HR Imam Bukhari, dari Ibnu Abbas Ra].
“Barangsiapa berjual beli dengan dua aqad jual beli dalam satu aqad jual
beli, maka ia berhak mendapatkan
kerugian keduanya atau riba.” [HR Abu Dawud, dari Abu Hurairah].
“Janganlah kalian membeli ikan yang berada di dalam air, sesungguhnya yang
demikian itu adalah spekulasi (garar)”. [HR Imam Muslim, dari Abu Hurairah].
5. Seluruh
transaksi ekonomi harus terbebas dari riba dengan berbagai macam jenisnya.
Mengambil riba termasuk perbuatan haram. Bahkan, sebagian ulama mengkategorikan
riba sebagai dosa besar. Larangan riba ditetapkan berdasarkan Al Quran dan
Sunnah. Firman Allah Saw, yang artinya: “Dan Allah telah menghalalkan
jual-beli dan mengharamkan riba”. [QS Al-Baqarah (2): 275). Di dalam hadis,
Nabi Saw bersabda yang
artinya:
“Riba itu mempunyai 73 pintu, sedang yang paling ringan seperti seorang laki-laki yang menzinai
ibunya, dan sejahat-jahatnya riba adalah mengganggu kehormatan
seorang Muslim”. [HR Imam Ibnu Majah, dari Abdullah bin Mas’ud]
C. Macam-Macam Mu’amalah
Dalam melakukan transaksi ekonomi tidak boleh bertentangan dengan asas yang
telah ditetapkan. Pada saat ini bentuk transaksi ekonomi yang berlangsung di
tengah masyarakat sangat beragam, mulai jual beli, jasa kredit, pemberian modal
usaha, investasi, dan sebagainya. Dalam fikih muamalah, khususnya tentang
kajian ekonomi Islam, juga membahas bentuk-bentuk transaksi ini. Berikut ini
pembahasannya.
1. Jual Beli
a. Pengertian Jual Beli
Jual beli dalam bahasa Arab menggunakatan kata al-bay’ yang
berarti menjual, mengganti, atau menukar (sesuatu dengan sesuatu yang lain).
Dalam fikih muamalah, jual beli diartikan dengan kegiatan tukar-menukar harta
dengan harta yang lain dalam bentuk pemindahan milik dan kepemilikan melalui
cara tertentu yang bermanfaat.
b. Dasar Hukum dan Hukum Jual-Beli
Pada masa Rasulullah SAW harga barang itu dibayar dengan mata uang yang
terbuat dari emas (dinar) dan mata uang yang terbuat dari perak (dirham). Jual
beli sebagai sarana tolong menolong sesama manusia. Di dalam islam mempunyai
dasar hukum dari al-qur’an dan hadis.
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba.” (Qs. Al-Baqarah : 275)
Hadis yang berkaitan dengan jual beli cukup banyak, antara lain rasulullah
SAW telah bersabda, “Nabi Muhammad SAW telah melarang jual-beli yang
menyandang unsur penipuan.”(H.R Muslim).
Mengacu pada ayat-ayat al-qur’an dan hadis, hukum jual beli adalah mubah
(boleh). Namun pada situasi tertentu, hukum jual-beli itu bisa berubah menjadi
sunnah, wajib, haram, dan makruh.
a. Mubah, yaitu kebolehan
seseorang untuk melakukan jual beli. Mubah merupakan hukum asal jual beli.
b. Wajib, yaitu kewajiban seseorang
untuk menlakukan jual beli. Contoh : kewajiban seseorang unuk menjual harta
orang muflis, yaitu orang yang utangnya lebih banyak daripada hartanya.
c. Haram, yaitu ketidakbolehan
atau larangan bagi seseorang untuk melakukan jual beli. Contoh : menjual rumah
untuk berjudi.
d. Sunah, yaitu anjuan bagi seseorang
untuk melakukan jual beli. Contoh : menjual barang kepada kerabat, sahabat, dan
kepada orang yang sangat membutuhkan barang tersebut.
c. Syarat dan Rukun Jual Beli
Syarat adalah hal-hal yang harus ada atau dipenuh sebelum transaksi jual
beli.
1. Syarat Penjual dan Pembeli atau pihak
yang bertransaksi (aqid)
a. Baligh
b. Berakal
c. Rusdu (memiliki kemampuan untuk bisa
melaksanakan urusan agama dan mengelola keungan dengan baik).
d. Suka sama suka, yakni atas kehendak sendiri,
tanpa paksaan dari orang lain.
2. Syarat Ijab Kabul
Ijab kabul dapat dilakukan dengan kata-kata penyerahan dan penerimaan atau
dapat juga berbentuk tulisan, kwitansi, atau nota dan lan sebagainya. Ijab
adalah ucapan penjual kepada pembeli sedangkan kabul adalah ucapan penerimaan
dari pembeli.
Ijab kabul saat ini telah mengalami perkembangan. Bahkan, kita bisa
memanfaatkan teknologi, seperti ponsel dan internet. Di antara syaratnya, yaitu
terjadi kesepakatan antara penjual dan pembeli dengan lafal yang dapat
dipahami. Selain itu, juga ada informasi tertentu tentang keadaan barang dengan
jelas. Jika pihak pembeli.
3. Syarat Barang yang
Diperjualbelikan atau Ma’qud alaih
a. Suci
b. Bermanfaat
c. Dalam kekuasaan penjual dan
pembeli
d. Dapat diserah terimakan
e. Barangnya, kadar dan sifat
harus diketahui oleh penjual dan pembeli.
4. Syarat Nilai Tukar
a. Harga yang disepakati kedua
belah pihak harus jelas jumlahnya.
b. Bisa diserahkan pada waktu akad,
sekalipun secara hukum.
c. Jika jual beli itu dilakukan
secara barter (muqayyadah), barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang
diharamkan syara’.
Jual beli baru dianggap absah jika telah memenuhi rukunrukun. Jual beli.
Rukun jual beli ada 5, yaitu:
1. Penjual dan pembeli
2. Barang yang diperjualbelikan
3. Harga
4. Ijab qabul (perkataan
serah terima)
d. Macam-Macam Jual Beli
Jual beli dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, antara lain ditinjau
dari segi sah atau tidak sah dan terlarang atau tidak terlarang.
1) Jual beli yang sah dan tidak
terlarang yaitu jual beli yang terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya.
2) Jual beli yang terlarang dan tidak
sah yaitu jual beli yang salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi atau
jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak disyariatkan (disesuaikan dengan
ajaran islam). Contoh jual beli jenis ini seperti :
a) Jual beli sesuatu yang termasuk
najis, seperti daging dan bangkai babi.
b) Jual beli air mani hewan ternak,
seperti kambing.
c) Jual beli anak hewan yang masih
berada dalam perut induknya (belum lahir).
d) Jual beli yang mengandung unsur kecurangan
dan penipuan, misalnya mengurangi timbangan (takaran) dan memalsukan kualitas
barang yang dijual.
3) Jual beli yang sah tetapi terlarang
(fasid). Ada beberapa contoh jual beli yang hukumnya sah, tidak membatalkan
akad jual beli, tetapi dilarang oleh islam karena sebab-sebab lain misalnya :
a) Merugikan si penjual, si pembel, dan
orang lain.
b) Mempersulit peredaran barang.
c) Merugikan kepentingan umum.
Contoh jual beli yang sah tetapi terlarang :
a) Mencegat para pedagang yang akan
menjual barang-barangnya ke kota, dan membeli barang-barang mereka dengan harga
yang sangat murah. Kemudian menjualnya di kota dengan harga yang tinggi. Jual
beli seperti ini dilarang karena akan merugikan para pedagang dari desa, dan
juga menyebabkan naiknya harga pasar.
b) Jual beli dengan maksud untuk
ditimbun tertutama terhadap barang vital.
c) Menjual barang yang akan digunakan
oleh pembelinya untuk berbuat maksiat.
d) Menawar sesuatu barangdengan maksud hanya
memengaruhi orang lain agar mau membeli barang yang ditawarnya, sedangkan orang
yang menawar barang tersebut adalah teman si penjual. Jual beli seperti ini
disebut najsyi.
e) Monopoli yaitu menimbun barang agar
orang lain tidak membeli, walaupun dengan melampaui harga pasaran. Rasulullah
SAW melarang jual beli seperti ini, karena akan merugikan kepentingan umum.
f) Membeli barang yang sudah
dibeli orang lain, tetapi masih dalam masa khiyar (memilih).
e. Khiyar
Di dalam fikih Islam terdapat konsep khiyar. Khiyar ialah hak memilih bagi
si penjual dan si pembeli untuk meneruskan jual belinya atau membatalkan karena
adanya sesatu hal, misalnya ada cacat pada barang. Hukum islam membolehkan
hak khiyar agar tidak terjadi penyesalan bagi penjual maupun
pembeli, anatara lain disebabkan merasa tertipu.
Bila terjadi penyesalan dalam jual beli, baik kepada penjual atau pembeli,
amka hukumnya sunah untuk membatalkan jual beli dengan cara pembeli menyerahkan
barang yang dibelinya kepada penjual dengan ikhlas edangkan penjual menyerahkan
uang (nilai tukar barang yang dibeli) kepada pembeli dengan ikhlas pula.
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang rela mencabut jual beli terhadap
saudaranya, maka Allah pun akan mencabut kerugiannya di hari kiamat.” (H.R
Tabrani)
Ada tiga macam khiar, yaitu :
1) Khiyar majelis adalah
pembeli dan boleh memilih meneruskan atau mengurungkan jual beli selama
keduanya masih dalam satu tempat.
2) Khiyar syarat adalah khiyar yang
dijadikan syarat pada waktu akad oleh penjual atas pembeli.
3) Khiyar ‘aibi adalah khiyar dimana
pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya apabila barang itu memiliki
cacat yang mengurangi kualitas barang.
2. Gadai
a. Pengertian dan Hukum Gadai
Menurut bahasa Arab, ar-rahn (gadai) bermakna al-aubut (tetap)
dan ad-daw m (langgeng/terus menerus). Adapun makna rahn menurut
syariat adalah menjadikan harta yang memiliki nilai dalam pandangan
syariat sebagai jaminan atas hutang, agar pemilik hutang bisa
membayar hutangnya dengan harga dari barang jaminan tersebut jika
ia tidak bisa membayar hutangnya tepat pada waktu penunaiannya.
Kebolehan melakukan gadai (ar-rahn) ditetapkan oleh Al- Qur’an
dan Sunnah. Allah Swt berfirman yang artinya: “Jika kamu dalam
perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh
seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang)”. [QS Al-Baqarah (2): 283]
Adapun di dalam hadis, Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan
sebuah hadis dari ‘Aisyah Ra bahwasanya ia berkata: “Nabi
Saw pernah menggadaikan baju besinya di Madinah kepada seorang Yahudi, dan
beliau mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga
beliau Saw”. [HR Imam Bukhari dan Muslim]
b. Rukun
dan Syarat Rahn (Gadai)
Rahn (gadai) baru dianggap absah jika telah
memenuhi rukun-rukun rahn. Rukunnya, yaitu:
1. Pemberi jaminan (rāhin) dan
penerima jaminan (murtahin)
2. Barang yang digadaikan
3. Ijab qabul (perkataan
serah terima)
1) Syarat-Syarat Pemberi Jaminan Dan
Penerima Jaminan
a) Ar-rāhin dan al-murtahin disyaratkan
berakal. Transaksi gadai yang dilakukan oleh orang gila atau orang yang lemah
akalnya tidak dianggap absah. Firman Allah Swt,
“Dan janganlah kamu berikan hartamu itu kepada orang yang bodoh dan harta
itu dijadikan Allah untukmu sebagai pokok penghidupan”. [QS An-Nis ’ (4): 5]
b) Melakukan transaksi gadai atas
kehendak dan kerelaan dirinya sendiri. Jual beli dianggap tidak sah jika
dilakukan dengan paksaan. Sabda Nabi Saw yang artinya: “Sesungguhnya
jual beli itu baru dianggap sah jika berdasarkan kerelaan” [HR Ibnu
Hibban dan Ibnu Majah]
c) Keadaan ar-rāhin dan al-murtahin bukanlah
orang yang bodoh dalam hal transaksi mu’amalah. Lihat juga firman
Allah dalam Surah An-Nis ’ (4):5.
d) Telah mencapai usia balig. Gadai yang
dilakukan oleh anak kecil dianggap tidak sah.
2) Syarat-syarat Barang dan Harga
a) Barang yang diperjualbelikan bukan
termasuk barang haram dan najis, seperti anjing, babi, khamer, bangkai, darah,
berhala, dan lain sebagainya. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan: “Jabir
bin’Abdullah Ra mendengar Rasulullah Saw bersabda pada hari penaklukkan kota
Makkah, di Makkah, sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan jual
beli khamer, bangkai, babi, dan berhala”. [HR Imam Bukhari dan Muslim]
b) Barang yang diperjualbelikan adalah
barang yang memiliki nilai menurut pandangan syariat dan boleh dijual.
c) Barang yang diperjualbelikan adalah
milik sendiri dan di bawah penguasannya. Tidak absah jual beli barang milik
orang lain, atau akan dimiliki. Sabda Nabi Saw yang artinya: “Tidak ada
talak kecuali pada isteri yang engkau miliki. Tidak ada pembebasan kecuali pada
budak yang engkau miliki, dan tidak ada jual beli kecuali pada barang yang
engkau miliki”. [HR Imam Abu Dawud].
Nabi Saw melarang seorang Muslim menjual barang yang belum ada di tangannya.
Sabda Nabi Saw yang artinya: ”Barangsiapa membeli makanan, maka jangan menjualnya
sebelum barang itu kamu ada di tanganmu”. [HR. Imam Ahmad, Baihaqi,
dan Ibnu Hibban]
3) Syarat-syarat Ijab Qabul (Lafaz Serah
Terima)
Ijab adalah perkataan dari penjual,
misalnya, “Saya jual barang ini dengan harga sekian”;
sedangkan qabul adalah perkataan dari pembeli,
misalnya, “Saya terima barangnya dengan harga sekian”. Ijab dan qabul harus
memenuhi syarat-syarat berikut ini:
a) Perkataan Ijab dan qabul tidak
dianggap sah jika dipisahkan waktu yang lama. Misalnya, ketika ar-râhin sudah
menyatakan, “Saya anggunkan barang ini kepadamu”, namun al-murtahin tidak
langsung menyahut, tetapi diam saja dalam waktu yang lama, dan tidak menimpali
perkataan penjual.
b) Ijab dan qabul tidak
boleh disela dengan perkataan, atau ucapan-ucapan lain, yang bisa merusak
keabsahan Ijab dan qabul.
c) Ijab qabul dianggap tidak
absah jika di dalamnya disertai dengan syarat-syarat yang menyebabkan
rusaknya aqad gadai tersebut seperti jika penjual mengatakan,
“Saya akan menggadaikan barang ini, setelah barang ini saya pakai selama satu
bulan”; atau dengan menyertakan persyaratan waktu, seperti jika penjual
mengatakan, “Saya gadaikan barang ini setelah seminggu lagi, atau dua bulan
lagi”. Ketentuan ini didasarkan hadis Nabi Saw yang artinya: “Tidak
halal salaf dan penjualan, serta dua syarat dalam satu jual beli”. [HR
Imam Tirmizi]
c. Ketentuan-ketentuan
yang Berhubungan dengan Ar-rahn
Ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam gadai (ar-rahn)
adalah sebagai berikut:
a) Barang yang digadaikan harus
diserahterimakan pada saat aqad rahn itu dilangsungkan. Begitu
barang diserahkan, maka barang tersebut akan di bawah kekuasaan al-murtahin.
Jika barang agunannya adalah barang-barang yang bisa dipindahkan, seperti
perhiasan, mobil, sepeda motor, televisi, dan sebagainya, maka serah terima
bisa dilakukan dengan cara menyerahkan barang-barang tersebut kepada murtahin.
Namun, jika barang agunannya adalah barangbarang yang tidak bisa dipindahkan
atau tidak bisa bergerak, seperti rumah, tanah, kebun, dan lain sebagainya,
maka serah terima dilakukan dengan sesuatu yang secara syar’i menunjukkan serah
terima barang tersebut. Misalnya dengan surat kuasa agunan, dan lain sebagainya.
b) Dalam kasus jual beli kredit barang,
maka barang yang dibeli dengan kredit tersebut tidak boleh dijadikan sebagai
agunan. Misalnya, jika seseorang membeli sepeda motor kepada orang lain secara
kredit dengan agunan; maka sepeda motor yang dibeli dengan kredit tersebut
tidak boleh dijadikan sebagai agunan. Agunan harus diambil dari barang lain,
dan tidak boleh dari barang yang dibeli.
c) Pada masa jahiliyyah, jika ar-r
hin tidak mampu membayar hutang atau barang yang dibelinya secara kredit,
tepat pada waktunya, maka barang agunan tersebut langsung menjadi milik al-murtahin.
Praktik ini diharamkan oleh Nabi Saw. Sabda Nabi Saw yang artinya: “Agunan
itu tidak boleh dihalangi dari pemilik yang telah mengagunkannya, dan ia berhak
atas kelebihannya, dan wajib menanggung kerugiannya”. [HR Imam Asy Syafi’i,
dan Baihaqi].
Atas dasar itu, jika ar-râhin tidak mampu membayar
hutangnya, atau tidak mampu membayar harga barang yang dibelinya secara kredit,
maka, murtahin berhak menjual barang agunan tersebut. Jika
harga barang agunan itu lebih besar daripada hutang ar-r hin, maka
kelebihannya harus dikembalikan kepada ar-r hin. Namun, jika harga
barang agunan tersebut lebih rendah daripada hutangnya, maka arr
hin wajib menutupi kekurangannya.
d) Setelah serah terima barang agunan berada
di bawah kekuasaan al-murtahin. Tetapi, murtahin tidak
boleh memanfaatkan barang agunan tersebut. Sebab, barang agunan tersebut pada
dasarnya tetaplah milik ar-r hin, sehingga pemanfaatan barang
tersebut menjadi milik dari ar-r hin. Oleh karena itu, ar-r
hin berhak menyewakan barang agunannya, semisal rumah, kendaraan, atau
barang-barang lain yang ia agunkan, kepada orang lain atau kepada al-murtahin. Ar-r
hin juga berhak dan dibolehkan menghadiahkan manfaat barang agunan itu
kepada orang lain maupun al-murtahin, selama hal itu tidak
mengurangi manfaat barang agunan tersebut.
e) Jika barang agunan itu dijaminkan
oleh ar-r hin pada transaksi hutang piutang (qard), di
mana ar-r hin harus mengembalikan hutangnya dengan
jenis dan nilai yang sama, seperti pada kasus peminjaman uang Rp.500 juta
rupiah yang harus dibayar sebesar Rp.500 juta, atau peminjaman atas beras 50
ton, yang harus dibayar dengan beras 50 ton dan dengan jenis yang sama,
maka, almurtahin tidak boleh memanfaatkan barang agunan
sedikitpun, walaupun hal itu diijinkan oleh ar-r hin. Sebab, hutang
piutang yang menarik suatu manfaat termasuk dalam kategori riba.
f) Namun jika barang agunan itu
dijaminkan oleh ar-r hin pada transaksi hutang atas
barang-barang yang tidak memiliki padanan, atau sulit dicarikan padanannya,
misalnya hewan, kayu bakar, properti, dan barang sejenis yang hanya bisa
dihitung berdasarkan nilainya, maka almurtahin boleh
memanfaatkan barang agunan tersebut atas ijin dari ar-r hin.
3. Riba
a. Pengertian Riba
Secara literal, ar-rib bermakna az-ziy dah
(tambahan). Menurut Imam abari dalam kitab tafsirnya, makna asal dari riba
adalah az-ziy dah wa al-in fah (tambahan atau kelebihan).
Menurut istilah (syariat) para ulama mendefinisikan riba sebagai berikut. Imam
IbnuIbnu Al-‘Arabi mendefinisikan riba dengan; semua tambahan yang
tidak disertai dengan adanya pertukaran kompensasi.Imam Suyuti
dalam Tafsir Jalalain menyatakan, riba adalah tambahan
yang dikenakan di dalam mu’amalah, uang, maupun makanan,
baik dalam kadar maupun waktunya.Di dalam kitab Al-Mabsu , Imam
Sarakhsi menyatakan bahwa riba adalah al-fa lu al-kh li ‘an al-‘iwa
al-masyr fi albai’ (kelebihan atau tambahan yang tidak disertai
kompensasi yang disyaratkan di dalam jual beli). Di dalam jual beli yang halal
terjadi pertukaran antara harta dengan harta. Sedangkan jika di dalam jual beli
terdapat tambahan (kelebihan) yang tidak disertai kompensasi, maka hal ini
bertentangan dengan perkara yang menjadi konsekuensi sebuah jual beli, dan hal
semacam ini haram menurut syariat.
b. Hukum Riba
Seluruh ulama sepakat mengenai keharaman riba, baik yang dipungut
sedikit maupun banyak. Seseorang tidak boleh menguasai harta riba. Harta
itu harus dikembalikan kepada pemiliknya, jika pemiliknya sudah diketahui.
Dan ia hanya berhak atas pokok hartanya saja. Di dalam Kitab Al-Mugni,
Ibnu Qudamah mengatakan, riba diharamkan berdasarkan Kitab, Sunnah,
dan Ijma’. Dalil pengharaman riba adalah firman Allah Swt yang
artinya:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata
(berpendapat), “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil
riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan);
dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba),
maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. [QS Al-Baqarah (2): 275].
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”. [QS Al-Baqarah (2): 276]
Dan masih banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang lainnya yang mengharamkan riba.
Sedangkan Sunnah; telah diriwayatkan dari Nabi Saw bahwasanya beliau bersabda,
yang artinya: “Jauhilah oleh kalian 7 perkara yang membinasakan”. Para
shahabat bertanya, “Apa itu, Ya Rasulullah?”. Rasulullah saw menjawab,
“Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan
hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari peperangan, menuduh wanita-wanita
Mukmin yang baik-baik berbuat zina”. Juga didasarkan pada sebua riwayat, bahwa
Nabi Saw telah melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan
penulisnya”. [HR. Imam Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah].
“Satu dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia mengetahui (bahwa itu
adalah riba), maka itu lebih berat daripada enam puluh kali zina”. [HR Ahmad dari Abdullah bin Han alah].
“Riba itu mempunyai 73 pintu, sedang yang paling ringan seperti seorang
laki-laki yang menzinai ibunya, dan sejahat-jahatnya riba adalah mengganggu
kehormatan
seorang muslim”. (HR Ibnu
Majah dari Abdullah bin Mas’ud).
“Rasulullah Saw melaknat orang memakan riba, yang memberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Beliau bersabda;
Mereka semua sama”. [HR Muslim, dari Jabir Ra].
c. Macam-Macam Riba
1) Riba fadli (lebih)
adalah riba yang disbeabkan penukaran barang sejenis yang tidak sama ukuran
atau jumlahnya. Misalnya, satu ekor sapi ditukarkan dengan satu ekor sapi yang
besarnya tidak sama.
2) Riba qardi (utang)
adlah riba dalam hal utang. Caranya adalah dengan menarik riba dari orang yang
berutang. Misalnya, Irgi bersedia meminjamkan uang sebesar Rp. 1.000.0000,00
kepada Fahrezi dengan syarat Fahrezi harus menambah Rp.100.000,00 saat
mengembalikan uang itu kepada Irgi.
3) Riba nasi’ah adalah
riba yang disebabkan penundaan atau peagguhan pembayaran utang. Contohnya
adalah seperti pada poin b tadi. Jika Fahrezi tidak dapat mengebalikan uang
tepat waktu, ia harus menambah bunga yang dibayarkan kepada Irgi.
4) Riba yad adalah riba
karena terpisahnya penjual dan pembeli sebelum timbang terima barang
dagangan. Misalnya, Anang membeli sekarung gula dari Fauzi. Setelah pembayaran
dilakukan, keduanya langsung pergi, sedangkan gula tersebut belum ditimbang dan
belum diketahui berapa berat sesungguhnya.
d. Perbedaan Riba dan Jual Beli
1. Dalam jual beli, antara pembeli dan
penjual sama-sama mendapatkan pertukaran di atas prinsip kesetaraan atau
persamaan. Si pembeli mendapatkan keuntungan atau manfaat dari barang yang
dibelinya dari penjual, sedangkan penjual mendapatkan keuntungan dari pembeli
karena waktu, tenaga, dan pikirannya yang digunakan untuk mendapatkan barang
itu demi kepentingan pembeli. Adapun dalam aktivitas riba, tidak akan
didapatkan manfaat atau keuntungan yang didasarkan di atas prinsip persamaan
tersebut. Pemilik uang atau modal, pasti akan mendapatkan keuntungan karena
meminjamkan modalnya, namun, peminjam hanya mendapatkan “jangka waktu”
pemanfaatan atas modal atau uang yang dipinjamnya. Padahal, jangka waktu
saja, pasti tidak akan menghasilkan keuntungan bagi peminjam. Jika dalam
“jangka waktu yang diberikan oleh peminjam itu”, kemungkinan mendapatkan
kerugian sama dengan kemungkinan mendapatkan keuntungan, maka di dalam aqad riba,
pasti ada salah satu pihak yang mendapatkan laba (keuntungan), sedangkan pihak
lain belum tentu mendapatkannya.
2. Di dalam perdagangan, bagaimanapun
besarnya keuntungan yang diperoleh pemilik barang, ia akan memperolehnyahanya
sekali saja; itu pun jika ada kesepakatan antara pemilik dan pembeli barang.
Dalam praktek riba, si pemilik barang atau modal senantiasa akan memperoleh
bunga uang, selama pinjaman pokoknya belum dilunasi. Bahkan, semakin lama,
hutang yang tidak dapat dilunasi akan semakin bertambah, dan menumpuk, hingga
menghabiskan seluruh harta kekayaan peminjam.
3. Dalam jual beli, jerih payah dan
pekerjaan seseorang baru akan mendapatkan keuntungan setelah ia mencurahkan
tenaga dan pikirannya. Sedangkan dalam praktåk riba, seseorang hanya
meminjamkan sejumlah uang yang tidak dipakainya, kemudian uang itu berkembang
tanpa harus berjerih dan payah.
4. Utang-Piutang
a. Pengertian Utang-Piutang
Utang piutang adalah menyerahkan harta dan benda kepada seseorang dengan
catatan akan dikembalikan pada waktu kemudian. Tentu saja dengan tidak mengubah
keadaannya. Misalnya utang Rp. 100.000,00 di kemudian hari harus melunasinya
Rp. 100.0000,00. Memberi utang kepada eseorang berarti menolongnya dan snagat
dianjurkan oleh agama.
b. Rukun Utang-Piutang
1) Orang yang berpiutang dan yang
berutang
2) Ada harta atau barang
3) Lafadz kesepakatan. Misal : “Saya
utangkan ini kepadamu”. Yang berutang menjawab, “Ya saya utang dulu, beberapa
hari lagi (sebutkan dengan jelas) atau jika sudah punya akan saya lunasi”.
Untuk menghindari keributan di belakang hari, Allah SWT. Menyarankan agar
kita mencatat dengan baik utang-piutang yang kita lakukan.
Jika orang yang berutang tidak dapat melunasi tepat waktunya karena
kesulitan, Allah SWT. Menganjurkan memberinya kelonggaran.
Apabila orang yang membayar tangnya dengan memberikan kelebihan atas
kemauannnya sendiri tanpa perjanjian sebelumnya, kelebihan tersebut halal bagi
yang berpiutang, dan merupakan suatu kebaikan bagi yangberutang. Rasulullah
SAW. Bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik kamu,ialah sebaik-baik ketika membayar
utang.” (sepakat ahli hadis) Abu Hurairah berkata, “Rasulullah telah berutang
hewan, kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih besar dari hewan yang
beliau utang itu.” Dan Rasulullah SAW. Bersabda, “ Orang yang paling baik di
antara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan lebih baik.” (HR.
Ahmad dan Tirmidzi)
5. Ijarah atau Sewa-Menyewa
a. Pengertian Ijarah
Ijarah disebut juga dengan sewa-menyewa. Secara bahasa, ijarah berarti
upah, ganti, atau imbalan. Secara istilah dapat diartikan dengan pemberian
imbalan atas pemanfaatan sesuatu benda, kegiatan, atau aktivitas tertentu.
Sewa-menyewa ini sangat populer di masyarakat kita dengan jenis barang
sewaan yang beragam, bisa tempat tinggal, kendaraan, tempat usaha, dan
sebagainya. Dengan menyewakan barang yang dimiliki, penyewa berhak mendapatkan
imbalan sejumlah uang dari yang menyewa. Demikian juga yang menyewa, dapat
memanfaatkan barang sewaannya.
b. Rukun dan Syarat Ijarah
Rukun ijarah ada empat, yaitu harus ada yang menyewa, penyewa,
barang yang disewakan, dan manfaat. Untuk syarat-syaratnya sebagai
berikut.
1) Penyewa dan orang yang menyewakan
harus orang yang berakal, tidak dipaksa, balig, dan tidak boros.
2) Barang yang disewakan harus jelas
jenis, sifat, dan kadarnya.
3) Untuk syarat manfaat berarti barang
tersebut berharga atau bernilai, diberikan oleh penyewa, diketahui kadarnya,
dan dengan jangka waktu tertentu. (Sulaiman Rasyid. 1996: halaman 304)
========================================================
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat kami tarik dari pembahasan makalah ini, yaitu
:
1. Muāmalah ialah kegiatan
tukar-menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang
ditempuhnya, seperti jual-beli, sewa-menyewa, utang-piutang, pinjam-meminjam,
urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha lainnya.
2. Asas-asas transaksi ekonomi dalam
Islam adalah: (1) seluruh traksaksi ekonomi yang ada di tengah-tengah
masyarakat harus selalu sejalan dengan syariat Islam; (2) Seluruh transaksi
ekonomi harus ditujukan untuk sebesarbesar kemakmuran masyarakat, bukan ditujukan
untuk kemakmuran sekelompok atau individu-individu tertentu di tengah-tengah
masyarakat; (3) transaksi ekonomi harus berlandaskan prinsip keikhlasan dan
suka sama suka. Tidak boleh ada pemaksaan, penganiayaan, dan penipuan dalam
transaksi ekonomi Islam; (4) seluruh transaksi ekonomi harus berdasarkan aqad yang
jelas, tidak samar dan kabur; (5) Seluruh transaksi ekonomi harus terbebas dari
riba dengan berbagai macam jenisnya.
3. Islam membolehkan umatnya untuk
melaksanakan jual beli, gadai, sewa-menyewa, utang piutang, dan sebagainya. Dan
mengharamkan perbuatan riba.
4. Jual beli adalah kegiatan tukar
menukar barang dengan barang lain (uang) dengan cara tertentu. Gadai
adalah penyerahan barang yang dilakukan oleh orang yang berutang sebagai jaminan
atas hutang yang telah diterimanya. Utang piutang adalah salah satu bentuk
kerja sama atau tolong menolong dalam kehidupan manusia. Dan sewa-menyewa
adalah imbalan yang harus diterima olehs seseorang atas jasa yang diberikannya.
Sedangkan, riba adalah tambahan pembayaran tanpa ada ganti atau imbalan yang
disyariatkan bagi salah seorang dari dua orag yang mengadakan transaksi.
B. Saran
Sebagai umat muslim yang baik, hendaklah menghargai proses dalam
bermuamalah secara islami, saling berbagi kebahagiaan dengan cara
tolong-menolong, dan membiasakan diri untuk mempraktikkan kegiatan muamalah
sesuai dengan syariat islam. Dan selalu berhati-hati dalam melakukan kegiatan
muamalah, perhatikan hal-hal yang diharamkan oleh syariat islam seperti
kegiatan riba.
=================================================================
CONTOH DAFTAR PUSTAKA MAKALAH EKONOMI ISLAM
Syafei, Nurdin. 2016. Buku Siswa FIKIH Kelas IX Madarasah
Tsanawiyah. Jakarta: Kementerian Agama
_______. 2014. Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti.
Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Firmansari. 2011. Pendidikan Agama Islam untuk SMA Kelas XI.
Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan Nasional.
Thoyar, Husni. 2011. Pendidikan Agama Islam untuk SMA Kelas XI.
Jakarta : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan Nasional.
Anda sekarang membaca artikel bermanfaat dalam situs kami, terima kasih atas kunjungan anda.