Pembukaan
Dalam meresapi keberagaman sosial, makalah ini mengupas tafsir mendalam tentang masyarakat. Menyelami kajian tafsir membuka jendela wawasan terhadap dinamika, nilai, dan interaksi yang membentuk struktur sosial. Sambutlah perjalanan ini menuju pemahaman yang lebih mendalam tentang peran dan esensi masyarakat dalam kehidupan manusia.
Contoh Makalah Tafsir Tentang Masyarakat
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Al-Qur’an
banyak ayat yang membahas tentang tentang kemasyarakatan (sosiologis) . Secara garis besar
ajaran Islam bisa dikelompokkan dalam dua kategori yaitu Hablum Minallah
(hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan) dan Hablum Minannas
(hubungan manusia dengan manusia). Allah menghendaki kedua hubungan tersebut
seimbang walaupun hablumminannas lebih banyak di tekankan. Namun itu
semua bukan berarti lebih mementingkan urusan kemasyarakatan, namun hal itu
tidak lain karena hablumminannas lebih komplek dan lebih komprehensif.
Oleh karena itu suatu anggapan yang salah jika Islam dianggap sebagai agama transedental.
Oleh karena itu
kita harus memahami sejarah dan kisah orang-orang terdahulu, sehingga kita
dapat mempelajari dan mengambil hikma dari peristiwa yang terjadi pada
orang-orang setelah kita, sehingga kita dapat melangkah lebih baik dari
orang-orang setelah kita.
B. Rumusan Masalah
- 1. Menjelaskan konsep sejarah dalam Al-Qur’an ?
- 2. Menjelaskan hukum-hukum sejarah dalam Al-Qur’an ?
- 3. Menyebutkan gambaran beberapa kisah yang diceritakan Al-Qur’an ?
- 4. Menjelaskan fungsi sejarah bagi kehidupan manusia ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Surat al-Ra’du ayat 11
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ
بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُوْ نَهُ مِنْ اَمْرِاللهِ إِنَّ اللهَ
لاَيُغَيِّرُ مَابِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوْامَا بِأَنْفُسِهِمْ وَاِذَا
أَرَادَاللهُ بِقَوْمٍ سُوْءًا فَلاَ مَرَدَّالَهُ وَمَالَهُمْ مِنْ دُوْنِهِ مِنْ
وَّالٍ
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, dimuka dan dibelakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah,
sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri dan apabila Allah menghendaki
keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya, dan
sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Allah.
Ayat ini menerangkan tentang kedhaliman manusia.
Dalam ayat ini juga dijelaskan bahwa kebangkitan dan keruntuhan suatu bangsa
tergantung pada sikap dan tingkah laku mereka sendiri. Kedzaliman dalam ayat
ini sebagai tanda rusaknya kemakmuran suatu bangsa.
لَهُ مُعَقِبَاتِ مِنْ
بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْقِهِ يَحْفَظُوْ نَهُ مِنْ اَمْرِاللهِ
Pada tiap manusia baik yang bersembunyi ataupun
yang nampak ada malaikat yang terus menerus bergantian memelihara dari
kemudharatan dan memperhatikan gerak gerik setiap manusia, sebagaimana
berganti-ganti pula malaikat yang lain yang mencatat segala amalannya, baik
maupun buruk. Ada malaikat malam dan ada malaikat siang, satu berada disebelah
kiri yang mencatat segala amal kejahatan dan satu disebelah kanan yang mencatat
segala amal kebajikan, dan dua malaikat bertugas memelihara dan mengawasi
manusia. Adapun malaikat yang dimaksud dalam ayat ini adalah malaikat Hafadzah.[1]
Adapun keempat malaikat itu tidak akan terlepas
dari kita, melainkan kita sedang dalam keadaan mempunyai hadats besar.
Sebagaimana dalam sabda Rasul
:اِنَّ مَعَكُمْ مَنْ لاَيُقَارِقُكُمْ عِنْدَالْخَلاَءِ
وَعِنْدَالْجِمَاعِ فَاسْتَحْيُوْهُمْ وَاَكْرَمَهُمْ.
“Sesungguhnya ada malaikat-malaikat yang mengikuti kamu dan tidak
terpisah dari kamu melainkan disaat-saat kamu membuang hajat besar atau
bersetubuh, maka di segani dan hormatilah mereka.”[2]
إِنَّ اللهَ لاَيُغَيِّرُ مَابِقَوْمٍ حَتَّى لاَيُغَيِّرُمَا
بِأَنْفُسِهِمْ
Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada
suatu kaum berupa nikmat dan kesehatan, lalu mencabutnya dari mereka sehingga
mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Allah juga menyuruh kita
(umat-Nya) untuk mengubah suatu kedzaliman karena jika kita tidak merubahnya,
maka Allah akan memperluas siksaannya, sedangkan Allah menciptakan manusia di
bumi ini untuk menjadi penguasa (khalifah) yang bertugas memakmurkan dan
memanfaatkan segala isinya dengan baik bukan untuk merusaknya.[3]
وَاِذَا أَرَادَاللهُ
بِقَوْمٍ سُوْءًا فَلاَ مُرَدَّالَهُ
Kita tidak patut dan tidak boleh meminta kepada
Allah agar keburukan segera didatangkan sebelum kebaikan atau siksaan sebelum
pahala, karena jika Allah telah menghendaki dan menimpakannya kepada mereka,
maka tidak ada seorangpun yang dapat menolak takdir-Nya.
وَمَالَهُمْ مِنْ
دُوْنِهِ مِنْ وَّلٍ
Tidak ada penolong bagi manusia seorangpun yang dapat
mengendalikan urusan mereka, dan tidak ada seorangpun pula yang mampu
mendatangkan kemanfataan atau menolak madharat selain Allah SWT. Sebagaimana
dalam Firman-Nya Surat al-Hajj ayat 73:
يَاَيُّهَاالنَّاسُ
ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوْالَهُ اِنَّ الَّذِيْنَ تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ
لَنْ يَخْلُقُوْا ذُبَابًا وَّلَوِاجْتَمَعُوْلَهُ وَاِنْ يَسْلُبْهُمُ الدُّبَابُ
شَيْئًا لاَيَسْتَنْقِذُهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوْبُ
“Hai manusia, telah di buat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu
perumpamaan itu, sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali
tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk
menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah
mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu, amat lemahlah yang menyembah
dan amat lemah pulalah yang disembah.”[4]
B. Surat al-Hujurat ayat
11-13
يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ
اَمَنُوْالاَيَسْخَرْقَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى اَنْ يَكُوْنُوْاخَيْرًامِنْهُمْ
وَلاَنِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى اَنْ يَكُنَّ خَيْرًامِنْهُنَّ
وَلاَتَلْمِزُوْااَنْفُسَكُمْ وَلاَتَنَابَزُوْا بِاْلاَلْقَابِ بِئْسَ الإِسْمُ
الْفُسُوْقُ بَعْدَاْلإِيْمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ
() يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْااجْتَنِبُوْاكَثِيْرًامِنَ الظَّنِّ اِنَّ
بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَلاَتَجَسَّسُوْاوَلاَيَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَاءْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًافَكَرِهْتُمُوْهُ
وَاتَّقُواللهَ اِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ () يَاَيُّهَاالنَّاسُ اِنَّا
خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍوَاُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًاوَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوْا اِنْ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَاللهِ اَتْقَاكُمْ اِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ
خَبِيْرٌ ()
(11). Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum
mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka yang yang
diolok-olok lebih baik dari mereka yang mengolok-olok dan jangan pula
wanita-wanita mengolok-olok wanita lain karena boleh jadi wanita-wanita yang
diperolok-olok lebih baik dari wanita yang mengolok-olok dan janganlah kamu
mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar
yang buruk, seburuk-buruk panggilan yang buruk sesudah iman dan barang siapa
yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim. (12).
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya
sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan
orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain, sukakah
salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka
tentulah kamu merasa jijik kepadanya, dan bertaqwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (13) Hai
manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seseorang laki-laki seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu, sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Dalam ayat ini Allah menjelaskan adab-adab
(pekerti) yang harus berlaku diantara sesama mukmin, dan juga menjelaskan
beberapa fakta yang menambah kukuhnya persatuan umat Islam, yaitu:
a. Menjauhkan diri dari berburuk sangka kepada
yang lain.
b. Menahan diri dari memata-matai keaiban orang
lain.
c. Menahan diri dari mencela dan menggunjing
orang lain.
Dan dalam ayat ini juga, Allah menerangkan bahwa
semua manusia dari satu keturunan, maka kita tidak selayaknya menghina
saudaranya sendiri. Dan Allah juga menjelaskan bahwa dengan Allah menjadikan
kita berbangsa-bangsa, bersuku-suku dan bergolong-golong tidak lain adalah agar
kita saling kenal dan saling menolong sesamanya. Karena ketaqwaan, kesalehan
dan kesempurnaan jiwa itulah bahan-bahan kelebihan seseorang atas yang lain.
يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ
اَمَنُوْالاَيَسْخَرْقَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ
Kita tidak boleh saling menghina diantara
sesamanya. Ayat ini akan dijadikan oleh Allah sebagai peringatan dan nasehat
agar kita bersopan santun dalam pergaulan hidup kaum yang beriman. Dengan hal
ini berarti Allah melarang kita untuk mengolok-olok dan menghina orang lain,
baik dengan cara membeberkan keaiban, dengan mengejek ataupun menghina dengan
ucapan / isyarat, karena hal ini dapat menimbulkan kesalah-pahaman diantara
kita.
عَسَى اَنْ
يَكُوْنُوْاخَيْرًامِنْهُمْ
Allah melarang kita menghina sesamanya karena
boleh jadi orang yang dihina itu lebih baik dan lebih mulia disisi Allah
kedudukannya dari pada yang menghina.
وَلاَنِسَاءُ مِنْ
نِسَاءِ عَسَى اَنْ يَكُنَّ خَيْرًامِنْهُنَّ
Orang yang kerjanya hanya mencari kesalahan dan
kekhilafan orang lain, niscaya lupa akan kesalahan dan kekhilafan yang ada pada
dirinya sendiri. Sebagaimana dalam sabda Nabi:
الكِبْرُ بَطْرُالْحَقِّ
وَغَمْصُ النَاسِ
“Kesombongan itu ialah menolak kebenaran dan memandang rendah
manusia”.
وَلاَتَلْمِزُوْااَنْفُسَكُمْ
Dalam penggalan ayat ini Allah melarang kita
mencela orang lain karena mencela orang lain sama saja mencela diri sendiri,
karena orang-orang mukmin itu bagaikan satu badan. firman Allah SWT yang
menerangkan tentang balasan bagi orang yang suka mencela orang lain yaitu:
وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ
لُمَزَةٍ
“Neraka wailun hanya buat orang yang suka mencedera orang dan
mencela orang”. (al-Humazah: 1)
Adapun dari arti هُمَزَةٍ
yaitu mencedera, yakni memukul dengan tangan, sedangkan لُمَزَةٍ yaitu mencela dengan mulut.[5]
وَلاَتَنَابَزُوْا
بِاْلاَلْقَابِ
Allah melarang kita memanggil orang lain dengan
gelaran-gelaran yang mengandung ejekan-ejekan, karena hal ini termasuk
menjelekkan seseorang dengan sesuatu yang telah diperbuatnya. Sedangkan orang
yang dihina itu telah bertaubat, tapi jika gelaran (panggilan) itu mengandung
pujian dan tepat pemakaiannya, maka itu tidak di benci sebagaimana gelar yang
diberikan kepada Umar, yaitu:Al-Faruq.
بِئْسَ الإِسْمُ
الْفُسُوْقَ بَعْدَاْلإِيْمَانِ
Allah melarang kita memanggil orang dengan kata
“fasik” setelah ia sebulan masuk Islam atau beriman.
Para ulama’ mengharamkan kita memanggil
seseorang dengan sebutan yang tidak di sukai.
وَمَنْ لَمْ يَتُبْ
فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ
Ayat ini di turunkan mengenai “Shafiyah binti
Hisyam Ibn Akhtab”, Beliau datang mengadu kepada Rasul bahwa isteri Rasul yang
lain mengatakan kepadanya. Hai orang Yahudi, hai anak dari orang Yahudi,
mendengar itu, Rasul berkata: mengapa kamu tidak menjawab: ayahku Harun,
pamanku Musa, sedangkan suamiku Muhammad. Dalam ayat ini diterangkan bahwa
orang yang sudah mengolok-olok bahkan menghina orang lain tapi tidak bertaubat,
maka mereka termasuk orang dholim.
يَاَيُّهَاالَّذِيْنَ
اَمَنُوْااجْتَنِبُوْاكَثِيْرًامِنَ الظَّنِّ
Dalam ayat ini Allah melarang bahkan
mengharamkan kita berprasangka buruk atau berfikiran negatif terhadap orang
yang secara lahiriyah tampak baik dan memegang amanat, atau kita tidak boleh
menfitnah seseorang, karena menfitnah itu bukan saja menyakiti seseorang dari
lahirnya saja tapi juga menyakiti bathinnya.
اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ
اِثْمُ
Allah melarang kita berburuk sangka terhadap
orang lain karena sebagian dari buruk sangka itu dosa.
Prasangka adalah dosa, karena prasangka adalah
tuduhan yang tidak beralasan dan bisa memutuskan silaturahmi di antara dua
orang yang baik.
Dalam hal ini prasangka yang di larang adalah
prasangka buruk yang dapat menimbulkan tuduhan kepada orang lain, sedangkan
prasangka tentang perkiraan itu tidak di larang.
Sebagaimana terdapat dalam suatu hadits :
ثَلاَثٌ لَأَزِمَّاتٌ
ِلأُمَتِّى : الطِبْرَةُ وَالْحَسَدُ وَسُوْءُالظَّنِّ
“Tiga macam membawa
krisis bagi umatku, yaitu memandang kesialan, dengki, dan buruk sangka”.[6]
وَلاَتَجَسَّسُوْ
Allah melarang kita mencari-cari keaiban dan
menyelidiki rahasia seseorang, tapi jika kita memata-matai seseorang atau musuh
agar tidak terjadi kejahatan, maka itu di perbolehkan.
وَلاَيُغَيِّبْ
بَعْضُكُمْ بَعْضًا
Allah melarang mencela orang di belakangnya atau
menggunjing tentang sesuatu yang tidak di sukainya.
Menurut para ulama’, mencela yang dibenarkan
adalah jika bertujuan untuk:
a. Untuk mencari keadilan,
b. Untuk menghilangkan kemungkaran,
c. Untuk meminta fatwa atau mencari kebenaran,
d. Untuk mencegah manusia berbuat salah,
e. Untuk membeberkan orang yang tidak malu-malu
melakukan kemaksiatan.
اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ
اَنْ يَاءْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًافَكَرِهْتُمُوْهُ
Allah melarang kita membicarakan keburukan
seseorang, karena hal itu sama halnya dengan makan bangkai saudaranya yang
busuk. Allah melarang hal ini karena perbuatan ini merupakan penghancuran
pribadi terhadap saudara yang di cela itu.
وَاتَّقُواللهَ اِنَّ
اللهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ
Dalam ayat ini Allah menyuruh kita bertaubat
dari kesalahan yang telah kita perbuat dengan di sertai penyesalan dan
bertaubat (taubat an-nasukha). Dalam ayat ini Allah juga memberitahukan
bahwasanya Allah senantiasa membuka pintu kasih sayangnya, membuka pintu
selebar-lebarnya dan menerima kedatangan para hambanya yang ingin bertaubat
supaya menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.
يَاَيُّهَاالنَّاسُ
اِنَّا خَلَقْنَكُمْ مِنْ ذَكَرٍوَاُنْثَى
Dalam ayat ini mengandung dua penafsiran, yaitu
:
a. Seluruh manusia
diciptakan pada mulanya dari seorang laki-laki, yaitu Adam dan dari seorang
perempuan, yaitu Hawa.
b. Segala manusia sejak
dulu sampai sekarang terjadi dari seorang laki-laki dan perempuan.
وَجَعَلْنَكُمْ
شُعُوْبًاوَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا
Allah menjadikan manusia dari berbagai macam
suku dan bangsa agar kita saling mengenal. Ayat ini merupakan dasar demokrasi
yang benar di dalam Islam, dengan menghilangkan kasta dan perbedaan.
اِنْ اَكْرَمَكُمْ
عِنْدَاللهِ اَتْقَاكُمْ
Semua manusia di sisi Allah SWT itu sama, yang
membedakan hanyalah ketaqwaannya.
Taqwa adalah suatu prinsip umum yang mencakup
takut kepada Allah dan mengerjakan apa yang diridhoinya yang melengkapi
kebaikan dunia dan akhirat. Kemuliaan hati yang di anggap bernilai adalah
kemuliaan hati, budi, perangai, dan ketaatan pada Allah.
اِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ
خَبِيْرٌ
Bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu
baik yang tampak ataupun tersembunyi. Dan bahwa Allah adalah sebaik-baiknya
Sang Pencipta.
BAB III
PENUTUP
Islam adalah agama samawi terakhir yang
dirisalahkan melalui Rasulullah SAW. Karena Islam sebagai agama terakhir dan
juga sebagai penyempurna ajaran-ajaran terdahulu, maka sangat bisa dipahami,
jika Islam merupakan ajaran yang paling komprohensif, Islam sangat rinci
mengatur kehidupan umatnya, melalui kitab suci al-Qur’an. Allah SWT memberikan
petunjuk kepada umat manusia bagaimana menjadi insan kamil atau pemeluk agama
Islam yang kafah atau sempurna.
Secara garis besar ajaran Islam bisa
dikelompokkan dalam dua kategori yaitu Hablum Minallah (hubungan
vertikal antara manusia dengan Tuhan) dan Hablum Minannas (hubungan
manusia dengan manusia). Allah menghendaki kedua hubungan tersebut seimbang
walaupun hablumminannas lebih banyak di tekankan. Namun itu semua bukan
berarti lebih mementingkan urusan kemasyarakatan, namun hal itu tidak lain
karena hablumminannas lebih komplek dan lebih komprehensif. Oleh karena
itu suatu anggapan yang salah jika Islam dianggap sebagai agama transedental.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa;
1. Setiap manusia itu di
jaga oleh 4 malaikat hafadhah dan bahwasanya Allah adalah sebaik-baik penolong
bagi kita.
2. Dalam hidup
bermasyarakat tidak boleh saling membedakan karena semua sama, tak ada yang
beda disisi Allah melainkan ketaqwaannya.
3. Setiap manusia itu pasti
punya kesalahan dan Allah maha penerima taubat hambanya sebelum sakaratul maut.
4. Allah tidak akan merubah
suatu kaum kecuali dia merubahnya dan Allah menyuruh kita untuk memberantas
kedzaliman.
Demikianlah makalah tentang istilah masyarakat dalam
Al-Qur’an serta konsep masyarakat yang ideal untuk mengembangkan konsep
pendidikan yang pemakalah buat. Kritik dan saran yang kontruktif
senantiasa dinantikan pemakalah demi perbaikan makalah berikutnya. Akhir kata,
kami hanya bisa mengucap tidak ada gading yang tak retak hanya milik-Nyalah
kesempurnaan yang merajai langit dan bumi serta isinya. Semoga penulisan
makalah ini bermanfaat. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Mustofa al
Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, CV Toha Putra, Semarang, 1988.
H. Salim Bahreisy dan H.
Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, PT Bina Ilmu,
Surabaya, 1988.
H. Mukti Ali, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, PT Bumi Restu, Jakarta, 1974.
Prof. H. Abdul Malik
Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir al-Ashhar, Yayasan Nurul islam,
Surabaya, 1982
Teungku Muhammad Hasbi
Ash Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nur, PT Pustaka Rizki Putra,
Semarang, 2000.
[1]
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nur 5
(surat 42-114), PT Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2000, hlm 2074.
[2] H.
Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir,
jilid IV, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1988, hlm 431.
[3]
Ahmad Mustofa al Maraghi, Terjemah tafsir al-Maraghi, juz XIII, CV Toha
Putra, Semarang, 1988, hlm 135.
[4]
Mukti Ali, Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT Bumi Restu, Jakarta, 1974, hlm
470.
[5]
Prof. H. Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir al-Ashhar, Yayasan
Nurul Islam, Surabaya, 1982, hlm 236.
[6] Ibid,
hlm 239
Penutup
Melalui perjalanan tafsir ini, kita menggali makna masyarakat sebagai entitas hidup yang kompleks. Tafsiran ini memperkuat kesadaran akan keberagaman, memupuk pemahaman tentang peran kolektif, dan mengajak untuk merayakan keunikan setiap individu dalam menyumbangkan warna dalam kanvas sosial. Semoga makalah ini menjadi pijakan untuk merintis jalan menuju masyarakat yang lebih inklusif dan penuh pengertian.