Istishab adalah salah satu prinsip hukum Islam yang berkaitan dengan asas keberlangsungan keadaan yang sudah ada. Prinsip ini memiliki peran penting dalam menentukan hukum di berbagai situasi di mana hukum yang sebelumnya sudah berlaku masih relevan, meskipun ada keadaan yang tampaknya berubah. Dalam makalah ini, kita akan membahas pengertian, fungsi, dan contoh-contoh penerapan istishab dalam hukum Islam.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam hukum Islam
terdapat dua ketentuan hukum yaitu hukum yang disepakati (muttafaq) dan
hukum yang tidak disepakati (mukhtalaf). Seperti yang kita ketahui bahwa
hukum yang kita sepakati tersebut yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijma’, dan
Qiyas. Secara umum ada 7 hukum Islam yang tidak disepakati dan salah satu di
antaranya akan menjadi pokok pembahasan pada makalah ini yaitu Istishab.
Menurut ahli ushul, istishab
berarti menetapkan hukum menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai
ada dalil yang mengubahnya. Dalam ungkapan lain, ia diartikan juga sebagai
upaya menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak semula tetap berlaku hingga
peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan itu.
Islam merupakan agama
rahmat kepada sekalian alam. Hukum hakam yang ditetapkan dalam Islam adalah
bertujuan untuk memenuhi kepentingan hidup manusia dan menjauhkan kemudaratan,
termasuk menghilangkan kesulitan dan kesusahan. Firman Allah SWT, surah al-Haj
ayat 78;
$tBur… @yèy_
ö/ä3øn=tæ
Îû
ÈûïÏd9$#
ô`ÏB
8ltym
4
"Dia tidak menjadikan kamu
menanggung sesuatu keberatan dan susah payah dalam perkara agama."
Berdasarkan ayat
tersebut, para pakar perundangan Islam menggariskan satu kaedah perundangan yaitu
"Apabila berlaku kesulitan, maka perlu diberikan kemudahan atau
keringanan". Antara konsep yang berkaitan dengan kaedah tersebut ialah
UMUM AL-BALWA.
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak pada uraian
yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat menarik sebuah rumusan masalah
sebagai berikut:
1.
Apa yang dimaksud dengan Istishab?
2.
Bagaimana klasifikasi Istishab?
3.
Seperti apa kehujahan Istishab?
4.
Bagaimana kaedah umum al-balwa dan
kesannya kepada perubahan Hukum Syarak?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Istishab
Kata Istishab secara
etimologi berasal dari kata “istashhaba” dalam sighat istif’ala (استفعال)
yang bermakna استمرارالصحبة kalau kata الصحبة diartikan dengan
teman atau sahabat dan استمرار diartikan selalu atau terus menerus, maka istishab secara Lughawi artinya selalu menemani
atau selalu menyertai.[1]
اَنَّ
اْلِإسْتِصْحَابَ عِبَارَةٌ عَنِ اْلحُكْمِ يُثْبِتُوْنَ اَمْرًا فِى الزَّمَانِ
الثَّانِى بِنَاءً عَلَى ثُبُوْتِهِ فِى الزَّمَانِ الأَوَّلِ لِعَدَمِ وُجُوْدِ
مَايَصْلُحُ ِللتَّغَيُّر
“Istishab adalah melanjutkan berlakunya hukum yang sudah
ada dan sudah ditetapkan ketetapan hukumnya, lantaran sesuatu dalil sampai
ditemukan dalil lain yang mengubah ketentuan hukum tersebut
Istishab diartikan
Hasby Ash-Shiddiqy dengan:
اِبْقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ لِانْدَامِ اْلُمغَيِّرِ (اِعتِقَادُ كَوْنِ
الشَّئِ فِى
اْلمَاضِى اَوِ الْحَاضِر (يُوْجِبُ ِظَنَّ ثُبُوْتِهِ فِى
اْلحَالِ اَوِاْلإِسْتِقْبَاِلِ
“Mengekalkan apa yang telah ada atas keadaan yang telah
ada, karena tidak ada yang mengubah hukum, atau karena sesuatu hal yang belum
diyakini”.
Dari pengertian yang
lain juga disebutkan, istishab berasal dari bahasa Arab ialah: pengakuan adanya
perhubungan. Sedangkan dari kalangan ulama` (ahli) ushul fiqih Istishab menurut istilah adalah menetapkan hukum
atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya, sehingga ada dalil yang
menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut. Atau menetapkan hukum yang telah
tetap pada masa yang lalu dan masih tetap pada keadaannya itu, sehingga ada
dalil yang menunjukkan atas perubahannya. Menurut Ibnu Qayyim, istishab adalah menyatakan tetap berlakunya
hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum
suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya. Menurut Asy
Syatibi, istishab adalah segala ketetapan yang telah
ditetapkan pada masa yang lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa
sekarang.
Dari pengertian
istishab di atas, dapat dipahami bahwa istishab itu ialah:
1.
Segala
hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa
sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.
2.
Segala
hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang lalu.
Oleh sebab itu apabila
seorang Mujtahid ditanya
tentang hukum kontrak atau pengelolan yang tidak ada di dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah atau dalil Syara’ yang meng-Itlak-kan hukumnya,
maka hukumnya boleh sesuai kaidah :[2]
الاصل فى
الاشياءالاباحة
”Pangkal sesuatu adalah
kebolehan”
Istishab adalah akhir
dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali para Mujatahid untuk mengetahui
hukum suatu peristiwa yang dihadapinya.
Yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selama
tidak ada dalil yang mengubahnya .Ini adalah teori dalam pengembalian yang
telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam mengelola berbagai ketetapan
untuk mereka.
Adapun syarat istishab sebagai
berikut;
1. Syafi’iyyah dan
Hanabillah serta Zaidiyah dan Dhahiriyah berpendapat bahwa hak-hak yang baru
timbul tetap menjadi hak seseorang yang berhak terhadap hak-haknya terdahulu.
2. Hanafiyyah dan
Malikiyah membatasi istishab terhadap aspek yang menolak saja dan tidak
terhadap aspek yang menarik (ijabi) menjadi hujjah untuk menolak, tetapi tidak
untuk mentsabitkan.
B. Macam- Macam Istishab
Para ulama ushul fiqih
mengemukakan bahwa istishab ada 5 macam yang sebagian disepakati dan sebagian
lain diperselisihkan.[4]
Kelima macam Istishab itu adalah:
1.
Istishab hukum Al- Ibahah Al- Asliyyah
Maksudnya
menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh selama belum
ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Misalnya seluruh pepohonan di hutan
adalah merupakan milik bersama umat manusia dan masing- masing orang berhak
menebang dan memanfaatkan pohon dan buahnya, sampai ada bukti yang menunjukkan
bahwa hutan tersebut telah menjadi milik sesorang. Berdasarkan ketetapan
perintah ini, maka hukum kebolehan memanfaatkan hutan tersebut berubah menjadi
tidak boleh. Istishab seperti ini menurut para ahli ushul fiqih dapat dijadikan
hujjah dalam menetapkan hukum.
2. Istishab yang menurut
akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus.
Misalnya
hukum wudhu seseorang yang telah berwudhu dianggap berlangsung terus sampai
adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila seseorang merasa ragu apakah
wudhunya masih ada atau sudah batal, maka berdasarkan Istishab wudhuya dianggap
masih ada karena keraguan tidak bisa mengalahkan keyakinan. Hal ini sejalan
dengan Sabda Rasul “ Jika seseorang merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu ia
ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka sekali- kali janganlah ia
keluar dari masjid (membatalkan shalat) sampai kamu mendengar suara atau
mencium bau kentut. (HR. Muslim dan Abu Hurairah).
Istishab
bentuk kedua ini terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqih. Inu Qayyim al-
Jauziyyah berpendapat bahwa Istishab seperti ini dapat dijadikan hujjah.
Ulama’
Hanafiyah berpendirian bahwa pendapat seperti ini hanya bisa dijadikan hujjah
untuk menetapkan dan menegaskan hukum yang telah ada, dan tidak bisa dijadikan
hujjah untuk hukum yang belum ada.
Imam
Ghazali menyatakan bahwa istishab hanya bisa dijadikan hujjah apabila didukung
oleh nash atau dalil, dan dalil itu merujukkan bahwa hukum itu masih tetap
berlaku dan tidak ada dalil yan laing yang membatalkannya.
Sedangkan
Ulama Malikiyah menolak istishab sebagai hujjah dalam beberapa kasus, seperti
kasus orang yang ragu terhadap keutuhan wudhunya. Menurut mereka dalam kasus
seperti ini istishab tidak berlaku, karena apabila sesorang merasa regu atas
keutuhan wudhunya sedangkan sedangkan di dalam keadaan shalat, maka shalatnya
batal dan ia harus berwudhu kembali dan mengulangi shalatnya.
3.
Istishab terdapat dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang
menghususkannya dan istishab dengan nash selama tidak ada dalil nasakh(yang
membatalkannya). Contoh istishab dengan nash selama tidak ada yang
menasakhkannya.
Kewajiban
berpuasa di bulan Ramadhan yang berlaku bagi umat sebelum Islam tetap wajib
bagi umat Islam berdasarkan ayat di atas, selama tidak ada nash lain yang
membatalkannya. Kasus seperti ini menurut Jumhur ulama’ ushul fiqih termasuk
istishab. Tetapi menurut ulama ushul fiqih lainnya, contoh di atas tidak
dinamakan istishab tetapi berdalil berdasarkankaidah bahasa.
4.
Istishab hukum akal sampai adannya hukum syar’i
Maksudnya,
umat manusia tidak dikenakan hukum syar’i sebelum datangnya syara’. Seperti
tidak adanya pembebanan hukum dan akibat hukumnya terhadap umat manusia,sampai
datangnya dalil syara’ yang menentukan hukum. Misalnya seseorang menggugat orang
lain bahwa ia berhutang kepadanya sejumlah uang, maka penggugat berkewajiban
untuk mengemukakan bukti atas tuduhannya, apabila tidaksanggup, maka
tergugat bebas dri tuntutan dan ia dinyatakan tidak pernah berhutang pada
penggugat. Istishab seperti ini diperselisihkan menurut ulama Hanafiyah,
istishab dalambentuk ini hanya bisa menegaskan hukum yang telah ada, dan tidak
bisa menetapkan hukum yang akan datang.
Sedangkan
menurut ulama Malikiyah, Syati’iyah, dan Hanabilah, istishab seperti ini juga
dapat menetapkan hukum syar’i, baik untuk menegaskan hukum yang telah ada
maupun hukum yang akan datang.
5. Istishab hukum yang
ditetapkan berdasarkan ijma’ tetapi keberadaan ijma’ itu diperselisihkan.
Istishab
sepeti ini diperselisihkan para ulama tentang kehujahannya. Misalnya para ulama
fiqih menetapkan berdasarkan ijma’ bahwa tatkala air tidak ada, seseorang boleh
bertayamum untuk mengerjakan shalat. Tetapi dalam keadaan shalat, ia melihat
ada air, apakah shalat harus dibatalkan ?
Menurut
ulama’ Malikiyyah dan Syafi’iyyah, orang tersebut tidak boleh membatalkan
shalatnya, karena adanya ijma’ yang mengatakan bahwa shalatnya sah apabila
sebelum melihat air. Mereka mengaggap hukum ijma’ tetap berlaku sampai adanya
dalil yang menunjukkan bahwa ia harus membatalkan shalatnya kemudian berwudhu
dan mengulangi shalatnya.
Ulama
Hanabilah dan Hanafiyyah mengatakan orang yang melakukan shalat dengan tayamum
dan ketika shalat melihat air, ia harus membatalkan shalatnya unruk berwudhu.
Mereka tidak menerima ijma’ karena ijma’ menurut mereka hanya terkait
denganhukum sanya shalat bagi orang dalam keadaan tidak adanya air, bukan
keadaan tersedianya air.
C. Kehujjahan Istishab
Para ulama ushul fiqih berbeda
pendapat tentang kehujjahan isthishab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan
suatu kasus yang dihadapi:
1.
Ulama Hanafiyah : menetapkan bahwa istishab itu dapat menjadi hujjah untuk
menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari penetapan hukum yang berbeda
(kebalikan) dengan penetapan hukum semula, bukan untuk menetapkan suatu hukum
yang baru. Dengan kata lain isthishab itu adalah menjadi hujjah untuk
menetapkan berlakunya hukum yang telah ada dan menolak akibat-akibat hukum yang
timbul dari ketetapan yang berlawanan dengan ketetapan yang sudah ada, bukan
sebagai hujjah untuk menetapkan perkara yang belum tetap hukumnya.
2. Ulama mutakallimin (ahli
kalam) : bahwa istishab tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum yang
ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya adil. Demikian juga untuk menetapkan hukum
yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang, harus pula berdasarkan
dalil. Alasan mereka, mendasarkan hukum pada istishab merupakan penetapan hukum
tanpa dalil, karena sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau
dengan suatu dalil. Namun, untuk memberlakukan hukum itu untuk masa yang akan
datang diperlakukan dalil lain. Istishab, menurut mereka bukan dalil. Karenanya
menetapkan hukum yang ada d i masa lampau berlangsung terus untuk masa yang
akan datang, berarti menetapkan suatu hukum tanpa dalil. Hal ini tidak dibolehkan
syara’.
3. Ulama Malikiyah,
Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah : bahwa istishab bisa menjadi
hujjah serta mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada
yang adil mengubahnya.Alasan mereka adalah, sesuatu yang telah ditetapkan pada
masa lalu, selama tidak ada adil yang mengubahnya, baik secara qathi’ (pasti)
maupun zhanni (relatif), maka semestinya hukum yang telah ditetapkan itu
berlaku terus, karena diduga keras belum ada perubahannya. Menurut mereka,
suatu dugaan keras (zhan) bisa dijadikan landasan hukum. Apabila tidak
demikian, maka bisa membawa akibat kepada tidak berlakunya seluruh hukum-hukum
yang disyari’atkan Allah SWT. dan Rasulullah SAW. Akibat hukum perbedaan
kehujjahan istishab : Menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah,
Zhahiriyah, dan Syi’ah, orang hilang berhak Menerima pembagian warisan
pembagian warisan dari ahli warisnya yang wafat dan bagiannya ini disimpan
sampai keadaannya bisa diketahui, apakah masih hidup, sehingga harta waris itu
diserahkan kepadanya, atau sudah wafat, sehingga harta warisnya diberikan
kepada ahli waris lain. Menurut ulama Hanafiyah, orang yang hilang
tidak bisa menerima warisan, wasiat, hibah dan wakaf, karena mereka belum
dipastikan hidup. Sebaliknya, harta mereka belum bisa dibagi kepada ahli
warisnya, sampai keadaan orang lain itu benar-benar terbukti telah wafat,
karena penyebab adanya waris mewarisi adalah wafatnya seseorang. Alasan mereka
dalam hal ini adalah karena istishhab bagi mereka hanya berlaku untuk
mempertahankan hak (harta orang hilang itu tidak bisa dibagi), bukan untuk
menerima hak atau menetapkan hak baginya (menerima waris, wasiat, hibah dan
wakaf).[5]
D. Kaedah Umum Al-Balwa Dan Kesannya Kepada Perubahan Hukum Syarak
Menurut Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, Umum al-Balwa bermaksud,
"Berleluasanya sesuatu sehingga seseorang itu sukar untuk menyelamatkan
diri daripadanya atau menjauhinya."(Nazariyah al-darurah al-Syar'iyah,
123). Dr. 'Amir al-Zibari turut mengemukakan definisi yang sama (al-Tahrir fi
qa'idah al-masyaqqah tajlib al-taysir, 82).
Manakala menurut Salih Yusuf, Umum al-Balwa bermaksud,
"Apa-apa yang diperlukan pada keadaan yang umum, di mana berlakunya
perkara tersebut sehingga sukar untuk dielakkan serta susah untuk dikawal dan
jika dihalang ia akan menimbulkan kesulitan yang lebih."(al-Masyaqqah
tajlib al-taysir, 232).
Dr. Salih bin 'Abd Allah bin Humayd menjelaskan, "Umum al-Balwa itu
merujuk kepada dua ciri:
1)
Keperluan untuk sesuatu itu diberikan
keringanan dalam keadaan umum, yaitu sukar untuk mengelakkannya dan jika tidak
diberi keringanan akan menimbulkan kesulitan yang lebih besar.
2)
Sesuatu itu sudah tersebar, yaitu
seseorang mukallaf sukar untuk mengelakkan diri daripadanya, atau
menghilangkannya, serta jika tidak diberi keringanan akan menimbulkan kesulitan
yang lebih besar.
Bagi ciri pertama, keringanan perlu diberikan kerana untuk memenuhi keperluan orang mukallaf dan bagi ciri kedua, keringanan perlu diberikan kerana ia sukar untuk dihilangkan." (Raf' al-haraj, 262).
Bagi ciri pertama, keringanan perlu diberikan kerana untuk memenuhi keperluan orang mukallaf dan bagi ciri kedua, keringanan perlu diberikan kerana ia sukar untuk dihilangkan." (Raf' al-haraj, 262).
Menurut Muslim bin Muhammad bin Majid al-Dusari, Umum al-Balwa bermaksud,
"Isu yang berlaku secara menyeluruh ke atas orang mukallaf atau keadaan
orang mukallaf yang berkaitan dengan pertanggungjawaban tertentu berkenaan isu
tersebut, serta wujud kesukaran menghindarinya atau tidak mampu menghilangkannya
melainkan dengan bertambah kesulitan yang memerlukan kemudahan dan
keringanan." (Umum al-balwa: Dirasah nazariyah tatbiqiyah, 61)
Ciri umum al-balwa (al-Dusari, Umum al-balwa: Dirasah nazariyah
tatbiqiyah, 62-64):
1)
Isu yang berlaku secara menyeluruh, sama
ada isu berkaitan dengan perbuatan mukallaf seperti kencing, atau berkaitan
dengan keadaan mukallaf seperti umur tua dan seumpamanya, atau berkaitan dengan
keadaan tertentu yang tidak berkaitan dengan mana-mana tingkahlaku mukallaf
seperti debu jalan yang bercampur najis binatang terkena baju kerana bawaan
angin.
2)
Isu itu berlaku ke atas setiap individu
mukallaf atau kebanyakan mereka, sama ada melibatkan keadaan yang bersifat umum
atau khusus untuk keadaan tertentu sahaja. Manakala jika isu tersebut hanya
melibatkan keadaan khusus untuk seorang individu sahaja atau sebilangan kecil,
maka kaedah Umum al-Balwa tidak boleh diterima pakai untuk isu tersebut.
3)
Isu tersebut berkaitan dengan
pertanggungjawaban (taklif), contohnya asal darah kutu itu najis, tetapi atas
alasan Umum al-Balwa, ia menjadi najis yang dimaafkan.
4)
Isu tersebut sukar untuk dihindari atau
ia hanya boleh dihilangkan dengan bertambahnya kesulitan.
Adapun sebab umum yang mempengaruhi hukum kerana Umum al-Balwa
(al-Dusari, Umum al-balwa: Dirasah nazariyah tatbiqiyah, 69):
1)
Isu tersebut sukar dikawal atau wujud
halangan untuk mengawalnya yang pada kebanyakan keadaannya seseorang mukallaf
tidak mempunyai pilihan. Contohnya, seseorang pejalan kaki sukar untuk
mengelakkan daripada debu jalan yang berkemungkinan besar bercampur debu najis
daripada terkena pada pakaiannya. Debu tersebut termasuk dalam najis yang
dimaafkan, maka sah solat jika pejalan kaki itu bersolat menggunakan pakaian
tersebut (al-Suyuti, al-Ashbah wa al-naza'ir, 164).
2)
Isu tersebut sukar dielakkan atau wujud
halangan ketika hendak mengelakkan ia daripada berlaku yang pada kebanyakan
keadaannya seseorang mukallaf mempunyai pilihan untuk melakukannya atau tidak.
Tetapi jika tidak dilakukan perkara tersebut akan bertambah kesulitan.
Contohnya kesilapan seseorang mujtahid ketika berijtihad, pada asalnya
kesilapan itu adalah dosa kerana salah menjelaskan hukum Syarak, namun ia tidak
dianggap dosa kerana terdapat Umum al-Balwa dalam kalangan mujtahid yaitu sukar
mengelak kesilapan (rujuk hadis Nabi yang direkod oleh Imam al-Bukhari, Sahih
al-Bukhari, 5/340 hadis no. 2680).
Contoh berubah hukum kerana Umum al-Balwa:
§
Air liur kucing hukum asalnya ia
adalah najis kerana kucing berkemungkinan makan benda najis. Namun, atas dasar
umum balwa, yaitu kucing adalah binatang peliharaan yang hidup di persekitaran
hidup manusia, jika dihukumkan bekas jilatan kucing pada bekas air dihukumkan
najis, maka ia akan menimbulkan kesulitan kepada hidup masyarakat. Maka hukum
air daripada bekas jilatan kucing tidak menjadi najis (al-Suyuti, al-Ashbah wa
al-naza'ir, 164)
§
Hukum asal menerima upah daripada
amal soleh adalah haram. Contohnya, haram guru yang mengajar al-Quran daripada
menerima gaji, juga gaji imam, bilal, dan sebagainya. Namun atas alasan umum
balwa, yaitu jika hukum itu kekal ia akan menjadikan tugas tersebut diabaikan
serta guru al-Quran, imam, bilal dan seumpamanya akan terjejas keperluan hidup
mereka, maka berubah hukum kepada harus menerima upah atau gaji (Ibnu Qudamah,
al-Mughni, 8/136).[6]
BAB
III
PENUTUP
Istishab merupakan
landasan hukum yang masih diperselisihkan akan tetapi kita sebagai umat Islam
sepatutnya kita mempelajari dan mengatahui setiap hukum-hukum yang ada. Istishab
merupakan suatu hukum yang menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaanya
semula selama belum terbukti sesuatu yang mengubahnya.
Dalam melihat hukum istishab,
kita jangan melihat jangan melihat dari satu sudut pandang saja, akan tetapi
mempejari secara cermat mengenai seluk beluk istishab itu sendiri.
Istishab merupakan landasan hukum yang masih
diperselisihkan akan tetapi kita sebagai umat Islam sepatutnya kita mempelajari
dan mengatahui setiap hukum-hukum yang ada. Istishab merupakan suatu
hukum yang menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaanya semula selama
belum terbukti sesuatu yang mengubahnya.
Dalam melihat hukum istishab,
kita jangan melihat jangan melihat dari satu sudut pandang saja, akan
tetapi mempejari secara cermat mengenai seluk beluk istishab itu
sendiri.
Kaedah Umum al-Balwa mempunyai peranan yang besar dalam proses
mengeluarkan ijtihad. Ia merupakan salah satu justifikasi dalam menjelaskan
sesuatu hukum Syarak berkaitan isu semasa. Kaedah Umum al-Balwa sering
digunakan oleh para ulama; sama ada dalam disiplin ilmu usul fiqh atau fiqh. Ia
dibincangkan dalam kerangka rukhsah dan keringanan yang dibenarkan dalam hukum
Syarak.
DAFTAR PUSTAKA
Jumantoro Totok, Kamus Ilmu Ushul Fikih Amzah, 2005
Syafi’I Rahmat Ilmu Ushul Fiqh Bandung:
CV Pustaka Setia, Cet-1 1999
Djazuli Ilmu Fiqh Jakarta
: Prenada Media,cet-5 2005
http://www.e-fatwa.gov.my/blog/kaedah-umum-al-balwa-dan-kesannya-kepada-perubahan-hukum-syarak,
dikutip pada tanggal 02 Mei 2015@10.29PM
[1] Jumantoro Totok, Kamus Ilmu Ushul Fikih Amzah, 2005, Hal 145
[2] Syafi’I Rahmat Ilmu Ushul Fiqh Bandung: CV Pustaka
Setia,cet-1 1999 hal 162
[3] Jumantoro Totok, Kamus Ilmu Ushul Fikih Amzah, 2005, Hal 146
[4] Djazuli Ilmu Fiqh Jakarta
: Prenada Media,cet-5 2005 hal 143
[5] Syafi’I Rahmat Ilmu Ushul Fiqh Bandung : CV Pustaka
Setia,cet-1 1999 hal 165
[6] http://www.e-fatwa.gov.my/blog/kaedah-umum-al-balwa-dan-kesannya-kepada-perubahan-hukum-syarak,
dikutip pada tanggal 02 Mei 2015@10.29PM