AGAMA PRIMITIF DAN KONTEMPORER



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Ditinjau dari segi bahasa agama merupakan suatu kepercayaan keyakinan yang diyakini oleh manusia, sedangkan kata primitif yaitu keadaan yang sangat sederhana; belum maju peradaban, terbelakang kebudayaan. Istilah primitif atau kebudayaan dicirikan pada manusia atau sekelompok orang yang hidup pada waktu lampau, oleh karena itu primitif tidak dilihat sebagai sesuatu yang ada dan hidup pada masa lampau, tetapi dapat saja terjadi pada seseorang pada saat sekarang, masyarakat modern.
Berdasarkan indikasi tertentu yang menunjukkan adanya karakteristik sebagai manusia primitif, bisa dilihat dari prilaku, pandangan, ataupun tradisi yang masih primitive. Sebagai contoh, pada umumnya orang primitif tidak bisa menciptakan elektonik yang serba canggih, sehingga menganggap itu sebuah benda yang sangat keramat. Selain itu, orang desa masih banayk yang bersifat primitif dibanding orang kota, baik dari segi pendidikan maupun kepercayaaan terhadap benda-benda yang dianggap keramat.
Dalam hal ini manusia primitif adalah sekelompok masyarakat yang memiliki cirri dan karakteristik yang mengandung isme-isme, praktek, dan tradisi tertentu, yang dianut dan diyakininya. Seperti adanya kepercayaan terhadap mahluk-mahluk halus dan pemujaan terhadap arwah-arwah nenek moyang, atau melakukan ritual tertentu terhadap benda-benda yang dianggap keramat dan diperyacaya memiliki kekuatan gaib.
Agama dan Primitif masing-masing memiliki keeratan satu sama lain, sering kali banyak di salah artikan oleh orang-orang yang belum memahami bagaimana menempatkan posisi Agama dan posisi keadaan yg sangat sederhana pada suatu kehidupan.
Pada dasarnya agama primitif mempunyai dua asal-usul yaitu : Pertama suatu ajaran yang bersumber langsung dari Tuhan yang berupa wahyu yang kemudian diturunkan kepada manusia, yang dimulai dengan diturunkannya Adam kedunia, namun terjadi penyelewengan agama oleh para pemeluknya. Sehingga agama yang pada dasarnya monotheisme menjadi politeisme kemudian dapat menjadi animisme dan dinamisme. Maka oleh sebab itu Tuhan menurunkan kembali utusannya guna meluruskan penyelewengan tersebut. Kedua agama bersumber pada kajian antropologis, sosiologis, historis, dan psikologis, karena agama merupakan suatu fenomena sosial ataupun spiritual yang mengalami evolusi dari bentuk yang sederhana, biasa disebut dengan agama primitif, kepada bentuk yang sempurna.
Maka dari itu, penulis selanjutnya akan mengupas dalam makalah ini, pengertian agama primitif dan kontemporer (modern).

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian tersebut di atas, makalah ini akan membahas tentang;
1.      Apa yang dimaksud dengan Agama Primitif?
2.      Apa saja bentuk-bentuk dari agama primitif?
3.      Bagaimana pro-kontra tentang kepercayaan primitif?
4.      Seperti apa teori perkembangan kehidupan modern menurut Max Weber
5.      Bagaimana arti penting agama pada zaman modern?
  
BAB II
PEMBAHASAN
A.     Agama Primitif
a)     Pengertian Agama Primitif
Primitif adalah sebuah kata sifat yang menunjukkan keadaan yang sederhana, bersahaja. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, primitif bisa berarti keadaan yang sangat sederhana, belum maju, terbelakang (tentang peradaban, kebudayaan misalnya), dan bisa juga bermakna sederhana.[1]
Adapun yang mula pertama sekali menggunakan istilah primitif dikemukakan oleh Irving Babbit dan para tokoh Humanisme di Amerika. Kata primitif kadang-kadang dinisbatkan kepada masyarakat, dan ada juga dinisbahkan kepada agama. Kalau primitif dinisbahkan dengan agama, maka kata itu menjadi sebuah kalimat, yaitu : “Agama Primitif”.
Menurut pendapat Dr. A.G.Honing sebagaimana yang dikutip oleh Jirhanuddin dalam bukunya Perbandingan Agama, agama primitif itu adalah : Susunan tertentu dari manusia, suatu cara tertentu di dalam mengalami dan mendekati dunia dan Tuhan, suatu pandangan tertentu terhadap segala kehidupan sekeliling manusia dan suatu mentalitas atau sikap rohani yang tertentu.[2]
Menurut penulis, agama primitif adalah suatu rangkaian kegiatan yang dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat primitif yang bersumber dari para leluhur untuk mendekati Tuhan dan menemukan ketenangan batin. Selanjutnya penulis menguraikan agama-agama yang ada pada masyarakat primitif.
b)     Bentuk-bentuk Agama Primitif
Agama-agama yang terdapat dalam masyarakat primitif ialah Animisme, Dinamisme, Monoteisme Politeisme dll, adapun pembahasannya adalah sebagai berikut:
1)      Animisme
Animisme berasal dari bahasa latin. Asal katanya adalah “anima” yang berarti “nyawa, nafas, atau roh. Animisme berarti kepercayaan kepada roh yang mendiami semua benda (pohon, batu, sungai, gunung, dan sebagainya). Animisme adalah agama yang mengajarkan bahwa tiap-tiap benda baik yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa mempunyai roh.[3]
 Taylor menyebutkan istilah animisme untuk menyebut semua bentuk kepercayaan dalam makhluk-makhluk berjiwa. Manifestasinya adalah Roh yang Maha tinggi hingga pada roh halus yang tak terhitung banyaknya, roh leluhur, roh dalam objek-objek alam.
Diantaranya berbagai macam roh yang dimaksud, yaitu:
a)      Roh yang berhubungan dengan manusia, yakni jiwa-jiwa manusia sebagai daya vital, roh leluhur, roh jahat dari orang-orang yang meninggal dalam kondisi-kondisi tidak wajar.
b)      Roh yang berhubungan dengan objek-objek alamiah bukan manusiawi, seperti air terjun, batu yang menonjol ke permukaan bumi, pohon-pohon berbentuk aneh, roh dari tempat-tempat yang berbahaya, roh binatang, roh dari benda-benda angkasa.
c)      Roh yang berhubungan dengan kekuatan alam, seperti angin, kilat, banjir.
d)      Roh yang berhubungan dengan kelompok-kelompok sosial, dewa-dewa, setan-setan dan para malaikat.[4]
2)      Dinamisme
Menurut Abu Ahmadi sebagaimana yang dikutip oleh Jirhanuddin dalam bukunya Perbandingan Agama, dinamisme berasal dari bahasa Yunani “dynamis atau dynaomos” yang artinya kekuatan atau tenaga. Jadi dinamisme adalah ialah kepercayaan (anggapan) tentang adanya kekuatan yang terdapat pada berbagai barang, baik yang hidup (manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan), atau yang mati.[5] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, Dinamis memerupakan  kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup.
Pengertian dinamisme sebagaimana penulis kutip dari Internet, yaitu:
Agama dinamisme ialah: Agama yang mengandung kepercayaan pada kekuatan gaib yang misterius. Dalam faham ini ada benda-benda tertentu yang mempunyai kekuatan gaib dan berpengaruh pada kehidupan manusia sehari-hari. Kekuatan gaib itu ada yang bersifat baik dan ada pula yang bersifat jahat. Dan dalam bahasa ilmiah kekuatan gaib itu disebut ‘mana’ dan dalam bahasa Indonesia ‘tuah atau sakti’.[6]
Selanjutnya Harun Nasution menyebutkan, Dinamisme adalah suatu paham bahwa ada benda-benda tertentu yang mempunyai kekuatan gaib dan berpengaruh pada kehidupan manusia sehari-hari.[7]
Kekuatan gaib itu adalah yang bersifat baik dan ada pula yang bersifat jahat. Benda yang mempunyai kekuatan gaib baik, disenangi dan dipakai serta dimakan, agar orang yang memakainya dan memakannya senantiasa dipelihara dan dilindungi oleh kekuatan gaib yang terdapat di dalamnya. Sedangkan benda yang mempunyai kekuatan jahat, biasanya ditakuti dan oleh karena itu selalu dijauhi.[8]
Adanya kekuatan gaib bersifat tidak tetap, ia dapat berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Di samping itu kekuatan gaib tidak dapat dilihat, yang dapat dilihat hanyalah efek atau bekas dan pengaruhnya. Umpamanya dalam bentuk kesuburan bagi sebidang tanah, rindang, dan lebatnya buah bagi sebuah pohon, panjangnya umur seseorang, keberanian yang luar biasa pada seorang pahlawan perang dan sebagainya. Apabila efek-efek atau pengaruh tersebut telah hilang dari tanah, pohon, orang dan sebagainya, maka benda yang dianggap membawa kesuburan, kekuatan, umur panjang, keberanian, dan sebagainya itupun tidak lagi dihargai. Dalam bahasa Indonesia kekuatan gaib itu disebut dengan “Tuah” atau “Sakti”.[9]


3)      Politheisme
Politheisme mengandung kepercayaan kepada banyak dewa atau tuhan. Politheisme lawan dari monotheisme (satu tuhan). Dalam paham politheisme hal-hal yang menimbulkan perasaan ta’ajub dan dahsyat buikan lagi dikuasai oleh roh-roh, tapi oleh dewa-dewa.[10]
Menurut Harun Nasution sebagaimana yang dikiutip oleh Jirhanuddin dalam bukunya Perbandingan Agama, dalam paham politheisme dewa-dewa telah mempunyai tugas-tugas tetentu. Ada dewa yang bertugas memeberi sinar atau cahaya dan panas. Dalam agaman mesir kuno disebut dewa Ra. Dalam agama India disebut dewa Surya dan dalam agama persia kuno disebut Mithra. Ada juga dewa yang bertugas menurunkan hujan, yang diberi nama dewa Indera dalam agama India kuno. Selanjutnya ada pula dewa angin yang disebut dewa Wata dalam Agama India kuno.[11]
Tujuan beragama dalam paham politheisme bukanlah hanya sesajen dan persembahan-persembahan kepada dewa-dewa, tetapi juga menyembah dan berdoa kepada para dewa untuk menjatuhkan amarah pada dewa.[12]
Jadi, kalau mereka berdoa, mereka tidak hanya memohon kepada satu dewa saja, melainkan juga kepada dewa lain, seperti memohon kepada dewa kebaikan untuk memberikan hasil panen yang melimpah, sekaligus memohon kepada dewa kemurkaan agar jangan memberikan suatu kemudharatan terhadap panen mereka, dan menghalang-halangi pekerjaan dewa kebaikan.
4)      Pro-Kontra tentang Kepercayaan Primitif
Dalam dunia ilmu perbandingan agama muncul sebuah pertanyaan, apakah kepercayaan primitif itu termasuk agama atau bukan, hal tersebut menimbulkan dua opsi, Ada pendapat yang memasukkan primitif sebagai agama dan ada pula pendapat yang tidak memasukkan primitif sebagai agama.

Meminjam definisi agama yang diungkapkan oleh Edward Burnet Tylor dan Jhon Goerge Frezer, maka primitif dapat dimasukkan sebagai agama, karena E.B Tylor mengatakan agama adalah kepercayaan kepada wujud yang gaib atau spirit. Sedangkan J.G Frezer menjelaskan agama suatu pengikraran atau pengakuan terhadap wujudnya kekuatan-kekuatan luar biasa (superior) yang dipercaya mengatur dan mengawasi alam semesta serta kehidupan manusia. Kekuatan yang super sebagaimana yang tersirat dalam batasan agama seperti diuraiakan di atas, lalu serta-merta primitif dimasukkan sebagai agama, tampaknya masih belum bisa memuaskan semua pihak yang berpendapat kepercayaan primitif sebagai suatu agama.[13]
Maka dari itu, mereka melihat dari sisi lain, yaitu melihat elemen-elemen pokok yang terdapat dalam suatu agama secara umum kemudian meneliti elemen-elemen  yang terdapat dalam kepercayaan primitif, jika terdapat kesamaan, maka kepercayaan primitif dapat dimasukkan ke dalam agama.
Para ahli agama menjelaskan bahwa suatu agama harus mengandung 4 (empat) unsur pokok. Apabila tidak, maka “sesuatu” itu bukan agama. Empat unsur pokok tersebut ialah :
1.      Adanya Zat yang sakral.
2.      Adanya kitab suci.
3.      Adanya sistem ibadah
4.      Adanya kelompok/jama’ah.
Mereka yang berpendapat primitif termasuk agama mencoba menelusuri unsur-unsur pokok suatu agama seperti yang diungkapkan di atas apakah juga terdapat dalam primitif.
Unsur yang pertama, “Adanya Zat yang Sakral”. Dalam kepercayaan primitif juga ditemui adanya kekuatan yang supernatural, boleh jadi berupa spirit, roh (animus) atau mana, yaitu kekuatan (dynamus). Malah dalam kepercayaan primitif terdapat adanya unsure zat atau kekuatan yang luar biasa, yang bersifat Ilahi, dipuja dan disembah dengan bentuk kebaktian, demi terwujudnya kelanggengan hidup individu dan masyarakat.
Unsur yang kedua “kitab suci”. Secara fisik diakui unsur ini memang tidak ada dalam dunia pemangku kepercayaan primitif, namun sesuatu yang berfungsi sebagai Kitab Suci itu, yakni sebagai dasar atau landasan hidup keagamaan dalam kalangan primitif juga ada, yaitu dengan tradisi lisan, yang mendapat dukungan sepenuhnya dan secara kuat oleh apa yang disebut dengan mythos.
Unsur yang ketiga, dalam kepercayaan primitif, Mythos-lah yang dipandang sebagai pemberi arahan atau cara seseorang dalam menjalankan ibadah, seperti :cara memberi sesajen.[14]
Unsur yang keempat, adanya kelompok atau jamaah, dalam pemangku kepercayaan primitif juga ditemui yang namanya kelompok atau jama’ah.
Dari paparan di atas merupakan argumen yang pro bahwa primitif adalah bagian dari agama, adapun yang kontra apabila primitif merupakan bagian dari agama, mereka juga memiliki argumen yang kuat. Menurut kelompok yang tidak setuju, mereka melihat dalam kepercayaan primitif ada sesuatu yang tidak layak ada dalam sesuatu yang disebut agama. Hal itu ialah penggunaan “Mantera” dan “Magi”.
Suatu mantera, merupakan kalimat magis yang dinyanyikan atau diucapkan orang untuk memperoleh hasil-hasil yang dianggap berguna, seperti yang ia inginkan, umpamanya untuk menimbulkan kasiat magis dari sebuah benda, antara lain untuk menyembuhkan penyakit dan keinginan lainnya. Di sinilah keberatan pihak yang menonak kepercayaan primitif sebagai agama.
Kalau mantera bersifat formula atau perkataan (tepatnya bacaan), maka magi adalah bersifat perbuatan. Magi diartikan sebagai suatu perbuatan yang menghasilkan proses gaib bagi pencapaian sesuatu keperluan.
Menurut pihak-pihak yang menolak kepercayaan primitif sebagai agama adalah disebabkan penilaian mereka terhadap magi itu sebagai suatu perbuatan yang tidak sewajarnya dalam sesuatu yang disebut agama dan merusak agama.
  Secara logika, Magi memang tidak sewajarnya ada dalam agama. Sebab superioritas apa yang telah diakui sebagai Tuhan, tentu tidak memungkinkan lagi adanya kekuatan lain yang mampu menundukannya.[15]
Pemeluk agama, berbeda dengan pelaku magi (tukang sihir) dan orang-orang agama, pemeluk agama memiliki sikap kagum dan hormat kepada tujuan-tujuan sakral yang dikejarnya. Baginya tujuan-tujuan itu harus tidak berlawanan dengan caranya. Di lain pihak pelaku magi seperti “sedang melakukan bisnis” untuk memperoleh hasil-hasil yang praktis dan yang dipilih secara seenaknya. Baginya sikap hormat dan kagum itu tidak diperlukan karena dia adalah manipulator (dalang) dari yang gaib demi tercapainya tujuan-tujuan pribadinya sendiri sedangkan langganannya, tidak lain adalah penyembah yang gaib tersebut.[16]

B.     Agama Modern
1)      Teori Perkembangan Kehidupan Modern Menurut Max Weber
Kehidupan modern ditandai oleh melemahnya pola-pola kehidupan tradisional dan berkembangnya rasionalitas. Masyarakat modern lebih menggunakan perhitungan-perhitungan rasional tentang cara yang paling efektif  dan efisie untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain, masyarakat modern lebih percaya pada perhitungan rasional yang masuk akal dari pada percaya pada nasib atau campur tangan ilahi.[17]
Salah satu dari contoh sistem-sistem rasional itu adalah muncul birokrasi dan institusi-institusi masyarakat. Akan tetapi, walaupun masyarakat modern menciptakan banyak kemudahan dalam kehidupan, menurut Weber masyarakat modern tidak mampu memberikan jawaban atas pertanyaan fundamental tentang makna dan tujuan hidup manusia. Dalam hal ini agama, walaupun sering dianggap kurang rasional masih mempunyai arti bagi kehidupan manusia, karena agama dapat memberikan makna dan arti kehidupan bagi manusia.
Jika Durkheim mencemaskan masyarakat modern akan semakin jatuh dalam anomie, maka Max Weber mencemaskan bahwa rasionalisasi khususnya dalam organisasi-organisasi formal akan menciptakan dehumanisasi ketika manusia semakin banyak diatur oleh organisasi birokratis yang impersonal.
2)      Arti Penting Agama Pada Zaman Modern
Secara umum, agama merupakan alat untuk membawa kedamaian dan kepuasan jiwa, kenyamanan jiwa dengan keyakinan tertentu. Banyak orang sepakat bahwa perlu ada cara duniawi untuk memberikan kedamaian cita. Namun, jika kita berbicara mengenai sebuah jalan untuk memberikan kedamaian cita berdasarkan keyakinan, akan ada dua kelompok agama yaitu keyakinan tanpa filsafat dan keyakinan dengan filsafat.
 Di zaman purbakala, orang menggunakan keyakinan untuk memberikan harapan dan kenyamanan saat mereka menghadapi keadaan-keadaan yang runyam. Dalam keadaan semacam itu, kepercayaan menyediakan harapan. Sebagai contoh, dengan adanya cahaya kita merasa lebih aman. Sumber cahaya adalah matahari, sehingga matahari merupakan sesuatu yang suci bagi penyembah matahari. Api menyediakan kenyamanan saat kita kedinginan dan oleh karenanya dianggap sebagai sesuatu yang baik. Api kadang kala datang dari kilat yang misterius dan oleh karenanya api dan kilat dianggap sama-sama suci. Itu adalah kepercayaan primitif tanpa filsafat.[18]
Peradaban lembah Indus di India dan perdaban Cina termasuk dalam kelompok kedua. Mereka lebih banyak memiliki agama yang memiliki ideologi. Mungkin lebih banyak di peradaban lembah Indus dari pada di tempat lain. Di India, tiga atau empat ribu tahun yang lalu sudah ada keyakinan dengan pola pikir filsafat tertentu.[19]
Agama-agama Timur Tengah; Yahudi, Kristen, dan Islam percaya akan adanya akhirat, dan menurut mereka kebenaran tertinggi adalah Tuhan. Tuhan itu pasti mempunyai kekuatan yang tak terbatas dan Tuhan melampaui pengalaman kita. Dan itulah agama teistik. Sedangkan agama non-teistik berpandangan bahwa semua yang datang dari sebab-sebab dan keadaannya sendiri.
Setiap orang selalu mempunyai kecenderungan yang berbeda. Oleh karena itu, di antara umat manusia mempunyai jalan hidup yang berbeda, cara berpikir yang berbeda. Perbedaan-perbedaan itu dipengaruhi oleh lingkungan, geografi dan iklim. Misalnya Arab dan India karena mempunyai kondisi geografis yang berbeda, maka gaya hidup mereka juga berbeda. Mungkin di zaman purbakala, orang-orang di manapun lebih mirip. Namun sekarang karena perbedaan-perbedaan itu, penting untuk memiliki berbagai pendekatan. Tapi perbedaan filsafat dan pola pikir itu tidak terlalu masalah. Yang terpenting adalah maksud dan tujuannya. Karena semua tradisi utama memiliki praktik yang sama, hanya saja cara dan filsafatnya yang berbeda.

 

BAB III
PENUTUP

Dalam sejarahnya kelahiran agama merupakan suatu jawaban atas suatu persoalan yang terjadi yang lahir dari konstruk penghayatan suatu tokoh atau melalui integritas Wahyu, hal ini bisa kita lihat pada agama-agama besar dunia, seperti Kristen, Islam, Hindu dan Budha.
Berbicara agama tidak bisa terlepas dari bagaimana agama itu lahir serta persoalan apa yang sebenarnya ingin dijawab oleh kelahiran agama itu, artinya sosio-historis dan kultur yang ada pada masa itu tidak bisa kita abaikan begitu saja dalam upaya memahami agama secara komprehensif. Nah, berdasarkan hal ini menjadi penting kiranya agama Budha sebagai sebuah keunikan tersendiri untuk kita telisik bagaima sejarah, perkembangan, pertumbuhan, pokok-pokok ajaran serta aliran-alirannya dalam Agama itu, sehingga dengan adanya pemahaman yang demikian terwujudlah suatu paradigm keilmuan yang didasarkan pada nilai-nilai yang lebih objektif.
Istilah primitif atau kebudayaan ( keadaan yg sangat sederhana; belum maju ) dicirikan pada manusia atau sekelompok orang yang hidup pada waktu lampau, oleh karena itu primitif tidak dilihat sebagai sesuatu yang ada dan hidup pada masa lampau, tetapi dapat saja terjadi pada seseorang pada saat sekarang masyarakat modern.
Agama-agama primitif meskipun disana sini bersifat sinkretis (antara dua aliran), pada hakekatnya sangat berbeda-beda karena telah bercampurnya bebagai unsur. Satu contoh adalah beberapa agama yang bersifat demonistis (kepercayaan dan pemujaan terhadap roh) tetapi ada agama yang sama sekali tidak mengandung unsur-unsur demonisme. Bentuk-bentuk agama primitif yaitu dinamisme, animisme, politeisme, henoteisme, dan monoteisme.
Kehidupan modern ditandai oleh melemahnya pola-pola kehidupan tradisional dan berkembangnya rasionalitas. Masyarakat modern lebih menggunakan perhitungan-perhitungan rasional tentang cara yang paling efektif  dan efisie untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain, masyarakat modern lebih percaya pada perhitungan rasional yang masuk akal dari pada percaya pada nasib atau campur tangan ilahi

DAFTAR PUSTAKA

Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2002

Jirhanuddin, Perbandingan Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010

Mariasusai Dhuvamony, Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius






[1] Jirhanuddin, Perbandingan Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 49
[2] Ibid
[3] Ibid.,  hlm. 53
[4] Mariasusai Dhuvamony, Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 67
[5] Jrhanuddin, Perbandingan Agama,… hlm. 53
[6] Http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/09/makalah-agama-primitif.html, (diakses pada tanggal 18 Mei 2015)
[7] Ibid
[8] Jirhanuddin, Perbandingan Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 51
[9] Ibid
[10] Ibid, hlm 60
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Jirhanuddin, Perbandingan Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 57
[14] Adapun yang dimaksud “Cara” (sistem ibadah) itu ialah cara seseorang melakukan sesuatu kegiatan keagamaan atau kebaktian. Istilah Islam untuk maksud ini adalah “Ibadah”, atau upacara-upacara pemujaan serta kebaktian sebagaimana lazim diistilahkan dalam agama Hindu/Budha dan Kristen. Lihat : Jirhanuddin, Perbandingan Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 60
[15] Jirhanuddin, Perbandingan Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 61
[16] Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat : Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta : PT. RajaGrafindo, 2002, hlm 75
[17] http://koleksi.org/tips/pengertian-agama-modern, (diakses pada tanggal 18 Mei 2015)
[19] Ibid